REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa yang tak kenal Ibnu Abbas? Sahabat sekaligus sepupu Rasulullah ini bernama lengkap Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al Hasyimi. Berkat kepandaiannya, ia digelari al habru wal bahru (tinta dan lautan).
Terlepas dari doa Rasulullah untuk menganugerahinya keluasan ilmu, Ibnu Abbas adalah pemuda yang sangat bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Ketika Rasulullah wafat, Ibnu Abbas kecil baru berusia 13 tahun. Namun, ia tergolong sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah.
Sampai-sampai Umar bin Khathab berkata, "Seandainya Ibnu Abbas menyamai usia kami, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang mampu menandinginya, walaupun hanya sepersepuluh ilmunya."
Ustadz Dwi Budiyanto dalam Prophetic Learning mengisahkan, bila ada berita tentang sebuah hadits pada salah satu sahabat Rasulullah, maka Ibnu Abbas akan segera mendatanginya meskipun sahabat itu sedang tidur siang.
Ibnu Abbas akan menunggu di depan pintu rumahnya, hingga kadang angin berhempus menerpa. Seandainya ia mengetuk pintu, tentu sahabat itu akan membukakan pintu untuknya. Tapi, Ibnu Abbas tidak melakukannya. Ia menanti hingga pemilik rumah bangun dan mendapatinya.
"Wahai putra paman Rasulullah, apa yang menggerakkanmu ke sini? Seandainya kau mengirim utusan pastilah aku akan datang," demikian seru tuan rumah heran.
Tapi, apa kata Ibnu Abbas? "Akulah yang harus datang sebab ilmu itu didatangi, bukan mendatangi."
Kesungguhan dan ketekunan dalam menuntut ilmu itulah yang patut dipelajari oleh Muslim, di tengah gempuran budaya serba instan. Ibnu Abbas tak mencukupkan diri tahu dari sumber kedua atau ketiga, tapi menemui langsung sumber pertama.
Ia pun tahu bagaimana mendudukkan posisi guru dan murid. Tidak serta merta karena sepupu Rasul lantas Ibnu Abbas memudahkan perkara. Ibnu Abbas memuliakan ilmu dengan mendatangi langsung sang guru, walau harus menunggu berjam-jam di tengah angin gurun yang berderu.