REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagai orang yang dibesarkan dalam sebuah keluarga Katolik, Maryam Eustathiou merasa agamanya tidak mampu memenuhi apa yang dia harapkan. Kenangannya melayang ke suatu masa, berlatar sebuah gereja di hari Minggu dengan jamaah penuh sesak.
Maryam bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini kebenaran sejati? Dapatkan simbol salib besar yang menjadikan orang berlutut dan membungkuk ini arti Tuhan yang sesungguhnya? Bagaimana mungkin imam yang mengenakan semua pakaian mewah itu menjadi esensi kesalehan, kerendahan hati, dan ketundukan pada Ilahi?”
Pada Onislam,net, Maryam bercerita merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Fakta bahwa Yesus nebjadi Tuhan dalam agama Kristen, bukannya sebagai nabi, adalah sesuatu yang tidak dapat ia terima.
Kegelisahan itu terpendam hingga usia 18 tahun, ketika Maryam masuk universitas. Di sanalah ia menemukan cahaya terang yang selama ini ia rindukan. Maryam bertemu dengan banyak orang dari berbagai agama dan latar budaya berbeda.
Perkenalan pertamanya dengan Islam terjalin melalui rekan-rekan Muslim dari berbagai Negara. Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Pakistan, Turki, Italia, Inggris, dan lain-lain. Mereka datang pada waktu yang sangat tepat, saat Maryam tengah membutuhkan agama.
Suatu kali di tahun 2001, ia berkunjung ke rumah seorang teman dan melihat sebuah Alquran di antara deretan buku-buku. Alquran itu tertulis dalam bahasa Arab. Maryam tidak mengerti apa-apa. Tapi, temannya dengan tenang menjelaskan satu per satu.
Maryam merasa itu karunia besar. Proses peralihannya ke dalam Islam terjadi secara bertahap sejak itu.
Ia ingat suatu kali, ia pernah bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku harus ke gereja hari ini? Mengapa aku harus pergi?” Ia merasa sudah tak percaya lagi dengan Yesus sebagai anak Allah. Maryam tak ingin pergi ke gereja hanya untuk menyenangkan orang tua atau keluarga.
Ia mulai membaca Alquran, mempelajari sirah Nabi, dan belajar shalat. Setelah mendapat banyak informasi tentang Islam, ia pun memutuskan untuk bersyahadat. Itu terjadi kira-kira setahun kemudian.
“Saya seolah datang ke dunia seperti anak yang baru lahir,” kata Maryam. Setelah bertahun-tahun berjalan dalam kegelapan, Allah berkenan memberi secercah cahaya yang membuatnya terbangun. Ia merasa lebih damai sebagai seorang individu.
Orang tuanya baru tahu tentang keislaman Maryam pada Ramadhan 2005. “Saya sengaja mengatakannya saat berada di dekat mereka, bukan saat di universitas. Saya ingin membuktikan saya tidak akan lari meninggalkan mereka,” tambah perempuan itu.
Awalnya, ibunya tidak begitu tenang mendengar kabar itu. Tapi, ayahnya bereaksi sangat baik dan menghargai pandangan Maryam. Ia bahkan bersedia turut membaca buku-buku Islam. Perlahan, ibunya pun menjadi lebih menerima.
Maryam kini telah lulus universitas dengan gelar master dan bekerja di sebuah perusahaan besar.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook