REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menilai wacana untuk membentuk holding BUMN energi belum tepat. Satya menyebut, pemerintah lebih baik fokus pada kinerja masing-masing BUMN energi yang memiliki basis kerja berbeda.
Wacana untuk menyatukan PT Pertamina (persero), PT PGN (persero), dan PT Rekayasa Industri, menurut Satya, tidak sesuai mengingat kinerja masing-masing perusahaan juga berbeda.
"Kalau saya ingin agar masing masing unit bisnis fokus. Kalau kita mencontoh Petronas saja, untuk upstream mereka bikin Petronas Carigali. Kalau digabung nanti fokusnya tidak ada. Jangan sampai keuntungan perusahaan dikonsolodasi dengan kerugian bisnis lain. Misal Pertamina dengan PGN mereka holding. Pertamina untung, tapi PGN ga untung. Kan secara holding jadi nggak untung," jelas Satya, Kamis (18/6).
Hanya saja, dia menilai holding bisa dilakukan antara anak perusahaan yang memiliki lingkup kerja yang sama, seperti Pertagas dengan PGN di mana keduanya bergerak di bidang eksplorasi, ekploitasi, dan distribusi gas.
"Saya sepakat yang bisnisnya sama. Misalnya Pertagas dengan PGN. Itu kan sama sama bisnisnya, saya minta kalau mereka disatukan minimal saham pemerintah harus mayoritas. Karena PGN itu 49 persen saham publik. Kalau Pertagas kan benar benar kita," ujar Satya.
Menurutnya, holding lebih tepat dilakukan bukan antara Pertamina dengan PGN, namun antara Pertagas (anak usaha Pertamina) dengan PGN. Satya menegaskan, sekalipun holding antara keduanya dilakukan, saham pemerintah tetap harus mayoritas. Hal ini mengingat 49 persen saham PGN dimiliki oleh publik.
"Kalau secara company, Pertamina dan PGN digabung saya pikir tidak tepat sasaran. Karena di Pertamina sendiri yang tidak core business kan dijual-jualin. Termasuk Patra Jasa. Yang beri beban. Dan kalau digabung kan nanti jadi beban," ujarnya lagi.
Saham publik sebesar 49 persen, lanjut Satya, bisa saja dibeli oleh Pertagas. Kepemilikan pemerintah mayoritas penting karena dinilai untuk bisa mengejar target pembangunan infrastuktur yang sejalan dengan rencana pemerintah.
"Sekarang yang penting adalah kesepakatan untuk menyatukan bisnis gas ada dulu. Dengan menyatukan paham maka otomatis kepemilikan saham atas PGN kan lebih kecil. Karena kepemilikan publik akan mengecil. Saat ini musim loh BUMN jual saham. Itu yang kita hindari," lanjutnya.
Sebelumya, mantan Pelaksana Sekjen OPEC Maizar Rahman, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (10/6), menyebut pemerintah lebih baik membentuk holding BUMN sektor energi.
Menurut Maizar, dalam peta jalannya, Pertamina memang direncanakan sebagai holding di dalam sektor migas. Namun, sampai saat ini hal itu belum terwujud, karena yang terjadi baru ada anak-anak perusahaan di sektor hulu Pertamina saja (internal), sementara di bagian hilir belum dilakukan.
Sementara, untuk memasukkan perusahaan-perusahaan energi lain seperti PGN, Rekind, itu belum dilakukan karena memang belum ada gerakan ke arah tersebut.
Meskipun demikian Maizar tidak menampik bila Pertamina dapat menjadi holding di perusahaan migas, karena di antara semua perusahaan migas, asetnya saat ini paling besar. "Sekarang tergantung pemerintah, maunya seperti apa," paparnya.
Sekadar informasi, Pertamina tercatat memiliki aset paling besar di antara empat perusahaan energi yakni Pertamina (Rp704 triliun), PGN (Rp77,32 triliun), serta Rekind (Rp1,933 triliun). Dengan kondisi aset yang paling besar, untuk mengejar ketertinggalannya dari Petronas, maka Pemerintah harus mempertimbangkan agar ada satu BUMN holding migas.