Jumat 19 Jun 2015 11:20 WIB

Kiai Kritik Metode Ahwa dalam Pemilihan Rais Am NU

Warga NU menghadiri Pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (14/6).(Republika/Wihdan Hidayat)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Warga NU menghadiri Pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (14/6).(Republika/Wihdan Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) diprotes sejumlah pimpinan daerah karena dianggap memaksakan memutuskan metode pemilihan Rais Am (pemimpin tertinggi NU) dalam Muktamar pada 1-5 Agustus 2015.

Forum yang dipakai untuk memutuskan, yaitu Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama, dianggap bertentangan dengan peraturan dasar organisasi.

Metode ahlul halli wal aqdi (ahwa) atau musyawarah mufakat disepakati oleh para kiai senior untuk memilih Rais Am dalam Muktamar nanti. Artinya, Rais Am tak lagi dipilih oleh para peserta Muktamar yang merupakan utusan pengurus daerah tingkat provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia.

“Barangkali ini baru pertama kali dilakukan Munas oleh PB NU tanpa adanya Konbes,” kata Rais Syuriah PWNU Nusa Tenggara Timur Abdul Kadir Makarim, dalam rilisnya, Jumat (19/6).

Munas yang diselenggarakan pada 14 Juni 2015 lalu, dinilainya tak lazim dan berdekatan dengan waktu Muktamar. Padahal sudah dilaksanakan Munas dan Konferensi Besar (Konbes) pada 1-2 November 2014, meski tanpa menghasilkan keputusan.

Munas pada 14 Juni 2015 itu pun tanpa forum Konbes, sebagaimana diamanatkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART NU).

Lazimnya, kata Makarim, sebagaimana tercantum dalam Pasal 74/75 ART, Munas selalu dibarengi Konbes. Munas adalah forum yang terdiri dari para syuriah pengurus wilayah (setingkat provinsi) dengan materi permasalahan keagamaan.

Sedangkan, Konbes diikuti para pengurus tanfidziyah untuk membahas persoalan organisasi dan kelembagaan.

“Pengurus wilayah yang juga menghadiri Munas dan Konbes, sebelumnya tidak merasa dan tidak mengakui Munas dan Konbes dinyatakan memutuskan ahwa. Karena yang terjadi pada Munas dan Konbes justru perdebatan soal alasan ahwa dan tidak terjadi kesepakatan,” ungkap Makarim.

Rais Syuriah PWNU Sulawesi Tengah Dr KH Jamaluddin Mariajang menilai, PBNU telah melanggar AD/ART. Sebab sebelum Muktamar, Pengurus Besar NU sudah memprovokasi dan memaksakan sistem ahwa.

”PBNU telah melanggar organisasi dan melecehkan AD/ART. Sebab hingga sekarang kita masih pakai AD/ART hasil Muktamar yang lalu. Munas tidak bisa menggantikan Muktamar,” kata Jamaluddin.

Jamaluddin mengingatkan agar PBNU tidak menganggap enteng PWNU dan PCNU. ”Kita di daerah semua tahu apa maunya PBNU. Jangan anggap orang-orang daerah tak mengerti organisasi,” ujarnya dengan lantang.

Hal senada diungkapkan Rais Syuriah PWNU Lampung, KH Ngaliman. Menurutnya, keputusan Munas tentang ahwa itu harus dicabut karena tidak dihasilkan dari proses yang benar. Soalnya forum Munas itu terkesan dipaksakan dan peserta tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk menyampaikan pendapat.

"Kami yang hadir di situ (Munas) tidak dihargai, dan kalau cara-cara ini diteruskan kami akan melakukan sesuatu," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement