Senin 22 Jun 2015 16:29 WIB

Industri Serat Tekstil Minta Proteksi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Salah satu kegiatan di sebuah pabrik tekstil di Indonesia.
Foto: zhie.student.umm.ac.id
Salah satu kegiatan di sebuah pabrik tekstil di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia Redma Gita Wiraswasta mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir sudah ada dua perusahaan industri serat fiber dan benang filament yang menghentikan produksinya. Hal ini sebabkan oleh kondisi pasar dunia yang mengalami over supply.  

"Perusahaan lainnya sudah memotong produksi sampai 50 persen, sehingga saat ini total utilisasi hanya di bawah 50 persen dari produksi nasional," ujar Redma ketika ditemui di Kementerian Perindustrian, Senin (22/6).

Redma menjelaskan, kondisi over supply di dunia disebabkan oleh permintaan dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang yang belum normal. Sementara itu, negara-negara produsen seperit Cina, Korea, India, dan Taiwan tidak mengurangi kegiatan produksinya. Dengan demikian, barang-barang dari negara produsen tersebut banyak masuk ke Indonesia dengan harga murah, dari hulu sampai hilir.

Akibat membanjirnya produk impor tersebut, maka menjadi kekhawatiran bagi produsen lokal. Apalagi, dengan adanya over supply di dunia industri serat dan filament Indonesia menjadi sulit untuk melakukan ekspor.

Menurut Redma, sebenarnya pangsa pasar di dalam negeri sangat menjanjikan dan daya beli masyarakat untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) masih baik. Akan tetapi, sayangnya konsumen di dalam negeri justru banyak yang membeli produk impor sehingga produk domestik kalah saing.

"Kita minta agar pemerintah bisa membantu industri tekstil dan produk tekstil secara keseluruhan untuk menjaga supply chain dari hulu sampai hilir," kata Redma.

Redma mengatakan, sebelumnya pelaku industri sudah mengajukan anti dumping namun tidak berjalan efektif. Pasalnya tidak semua negara dikenakan anti dumping. Misalnya, untuk produk POY-Benang Filament hanya Malaysia dan Thailand saja yang dikenakan anti dumping, padahal Taiwan, Cina, dan Korea merupakan negara produsen terbesar.

Menurut Redma, pihaknya sudah mengajukan usulan safe guard tersebut kepada Kementerian Bidang Perekonomian. Saat ini, Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia sedang mempersiapkan data untuk asistensi dengan KPPI. Idealnya safe guard rata-rata dikenakan di atas 20 persen. Redma mengatakan, kebijakan safe guard ini sudah berhasil dilakukan oleh Turki dan Brazil, demi menjaga pasar dalam negeri.

Untuk diketahui, konsumsi serat pada 2014 mencapai 1,76 juta ton. Trend pada 2008-2014 menunjukkan bahwa konsumsi kapas turun 13 persen dan impor juga turun sebesar 10 persen. Sedangkan, konsumsi polyester naik mencapai 61 persen dan impor juga naik sebesar 192 persen.

Sementara, konsumsi benang pada 2014 mencapai 1,57 juta ton. Tren pada 2008-2014 menunjukkana bahwa konsumsi benang pintal naik 6 persen dan impor naik 58 persen. Sedangkan, konsumsi polyester filament naik 23 persen dan impor naik 68 persen.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement