Oleh: Hasan Basri Tanjung
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada akhir Ramadhan, kerinduan kepada orang tua semakin menggelora. Menjelang Lebaran, banyak orang selalu berupaya mudik ke kampung halaman untuk menemui mereka dan meminta maaf atau ziarah ke kuburan mereka yang telah tiada.
Jika tidak bisa, lewat telepon pun cukuplah mengobati rindu. Bertebaran ayat-ayat yang menyuruh kita berbakti kepada orang tua. Bahkan, bakti kepada orang tua ditempatkan setelah bakti kepada Allah SWT. (QS 17: [23-24]).
Tak bernilai syukur kepada Allah jika tak disertai syukur kepada orang tua (QS 31:14, 46:15). Kita sering kali lupa jasa-jasa mereka sewaktu kecil dulu. Apalagi, jasa seorang ibu yang susah payah mengandung, melahirkan bersimbah darah, dan menyusui dalam kesulitan.
Pengorbanan mereka tak akan pernah terbalas walau dengan apa pun. Konon, seorang lelaki bertanya Khalifah Umar Bin Khattab.
“Wahai Amirul Mukminin, ibuku berusia lanjut, akulah yang menjadi kendaraan, menggendong, memapah dan membersihkan kotorannya. Apakah dengan demikian aku sudah berterima kasih atas jasa-jasanya? Beliau menjawab, “Belum!” “Mengapa begitu wahai Amirul Mukminin?” Tanya lelaki itu. Beliau menjawab, “Sebab engkau melakukannya sambil berdoa agar Allah mengambil nyawanya. Sedangkan, ia melakukan itu dahulu sambil berdoa agar Allah memanjangkan umurmu.” (HR Abi Ad-Dunya).
Kedudukan dan sikap anak terhadap orang tua bisa dikelompokkan menjadi empat macam. Pertama, anak yang beruntung. Mereka anak yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup dalam ketaatan kepada Allah dan mendidik mereka hingga menjadi manusia dewasa.
Mereka menyadari bahwa ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua bahkan surga pun berada di telapak kaki ibunya (HR At-Tirmidzi).
Ada pula yang tidak sempat berbakti karena orang tuanya telah tiada pada saat mereka masih kecil atau belum mampu untuk membahagiakan hingga akhir hayatnya. Saya termasuk di dalamnya. Meski begitu, saya masih beruntung ketemu mereka.
Kedua, anak yang kurang beruntung. Merekalah anak yang tak sempat melihat wajah ayah atau ibunya. Mereka lahir sebagai yatim atau piatu karena ayah telah tiada dan ibunya wafat di saat melahirkannya atau pergi ke negeri nan jauh.
Mereka tidak sempat merasakan belas kasih sayang orang tua hingga mereka besar dalam pengasuhan kerabat atau panti sosial. Namun, mereka tetap merindukan orang tuanya dan selalu berdoa agar kuburannya dijadikan taman surga dan kelak bertemu di surga.
Ketiga, anak yang tak beruntung. Merekalah anak yang lahir di tengah orang tua yang masih hidup, namun tidak dibesarkan dengan kasih sayang. Mereka diterlantarkan, dibuang, dianiaya hingga ada yang meregang nyawa.
Mereka diperlakukan tidak manusiawi dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Begitupun anak yang lahir dari perbuatan zina orang tuanya, dibuang di tempat sampah atau ditinggalkan di jalanan. Hingga dewasa, mereka tak tahu siapa orang tuanya.
Keempat, anak yang tak tahu diuntung. Merekalah anak yang dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang dan mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun, setelah berjaya, mereka justru melupakan orang tuanya.
Merekalah anak durhaka yang tak tahu diuntung dan tak pandai berterima kasih. Allah akan murka kepada mereka dan mengambil karunia-Nya secara perlahan tapi pasti, dan di akhirat kelak mereka tak mencium aroma surga (HR Al-Hakim). Na'udzibillahi min dzalik.
Bertobat dan minta maaflah sekarang juga. Cium tangan dan peluk tubuhnya, jika perlu bersujud di kakinya. Sebesar apa pun kesalahan, orang tua selalu berkenan memaafkan. Nanti, kalau sudah tiada baru terasa bahwa kehadirannya sungguh berharga. Allahu a'lam bishshawab.