Kamis 30 Jul 2015 19:14 WIB
Muktamar NU

Ini Alasan Rais Aam NU Sangat Disakralkan

Nahdlatul Ulama.
Foto: NU
Nahdlatul Ulama.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rais 'Aam di struktur organisasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menjadi sebuah jabatan prestisius karena termasuk jabatan shohibul maqom.

Posisi ini  tidak boleh ditempati kecuali oleh orang yang memang telah mencapai maqom yang sesuai.

Di dalam maqom itu terkandung kriteria faqiih (memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu syari'at) dan mutawarri’ (terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis).

Hal itu dikarenakan Nahdlatul Ulama bukan sekedar organisasi biasa, tapi merupakan "qiyaadah diiniyyah", yaitu acuan keagamaan bagi warganya.

Maka, Rais ‘Aam sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dari tuntunan dan bimbingan keagamaan yang diberikan oleh NU kepada warganya haruslah seorang yang sungguh-sungguh menguasai seluk-beluk ajaran keagamaan yang menjadi haluan NU, terutama dalam bidang syariat.

Hadratusyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ary telah sejak awal menekankan nilai-nilai kepemimpinan keagamaan tersebut kepada para ulama NU sebagaimana yang beliau nyatakan dalam Qanun Asasi.

 “Wahai ulama dan para pemimpin yang bertaqwa di kalangan Ahlussunnah wal Jamaa’ah keluarga madzhab Imam Empat; Anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda, dan orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalinan sanad yang bersambung sampai kepada Anda sekalian. Dan anda sekalian selalu meneliti dari siapa Anda menimba ilmu agama Anda itu. Maka Anda-lah para penjaga dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Jangan memasuki rumah-rumah kecuali dari pintu-pintunya. Barangsiapa memasukinya tidak lewat pintu-pintunya, akan disebut pencuri.... Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam... ‘Janganlah kau menangisi agama ini bila ia berada di tangan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di tangan orang yang bukan ahlinya”.

Rais ‘Aam juga merupakan simbol utama martabat Jam’iyyah Nahdlatul Ulama secara keseluruhan. Maka seorang Rais ‘Aam haruslah memiliki martabat yang luhur yang sungguh-sungguh tercermin dalam akhlaknya, sebagai pengejawantahan maqom rohani yang matang.

Selanjutnya, karena NU harus dikelola sebagai organisasi, maka seorang Rais ‘Aam juga dituntut untuk memainkan peran kepemimpinan sebagai munadhdhim (mampu memimpin manajemen organisasi), dan muharrik (mampu menggerakkan dinamika jam'iyyah).

Kedua, jelas bahwa kriteria Rais ‘Aam tersebut di atas terkait hal-hal yang tidak mudah ditandai dan diukur denagn kaca mata orang kebanyakan. Kriteria faqiih, misalnya, yang berkaitan dengan tingkat penguasaan ilmu, hanya bisa diniliai oleh orang-orang yang juga berilmu. Karena, laa ya'riful 'aalim illal 'aalim, tidak dapat mengukur kealiman seseorang kecuali orang yang alim.

Apalagi kriteria yang berkaitan dengan kematangan rohani. Maka hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang bisa memilih dengan benar, yaitu orang-orang yang 'alim/faqih, ahlul wara', zuhud, mengerti kebutuhan organisasi dan sungguh-sungguh memahami ketentuan-ketentuan agama dalam memilih pemimpin.

Orang-orang dengan syarat-syarat seperti itulah yang nantinya akan dipilih untuk menjadi anggota-anggota Ahlul Halli Wal 'Aqdi (Ahwa).

Sistem Ahwa  ini dengan sendirinya akan menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU karena pemegang wewenangnya adalah para ulama yang paling matang secara keilmuan dan maqom rohaninya, yang tak dapat digoda dengan bujukan-bujukan duniawi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement