REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tuan Guru Muhammad Turmuzi Badruddin lahir pada tahun 1937 di Desa Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Turmudzi kecil dilahirkan dari lingkungan keluarga bangsawan.
Keluarga Turmuzi dikenal sebagai keluarga santri. Sebagaimana penuturan Turmudzi, datuknya pernah merintis pengajaran kitab kuning di Bagu Dasan. Tentu saja ini tidak merupakan pertanda bahwa benih-benih atau akar-akar pemunculan sebuah pesantren di Desa Bagu sudah tergambar sebelumnya.
Pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh datuknya saat itu belum terkoordinir dengan rapi dan sistematis sehingga ketika datuknya wafat, maka aktivitas pembelajaran kitab kuning pun berhenti begitu saja. Turmudzi diandalkan untuk mewarisi tradisi keagamaan di Bagu.
Semenjak pulang dari Makkah, aktivitas TGH. Turmuzi cukup padat mulai dari aktivitas pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan lainnya.
Sudah jamak bahwa dalam pandangan masyarakat Sasak, seseorang yang berhak menyandang gelar Tuan Guru adalah orang yang pernah menimba ilmu dan menetap (mukim) di Makkah dalam waktu yang cukup lama dan dianggap menguasai seperangkat ilmu agama.
Mereka secara informal disyaratkan untuk bermukim di Makkah al-Mukarramah sambil melanjutkan studinya bersama ulama-ulama dunia dan Indonesia yang menjadi guru besar di Masjidil Haram seperti Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabawi, Syek Nawawi Al-Bantani, Syekh Banjari dan lain-lain, di samping guru besar dari kalangan bangsa Arab (Mahmud Yunus, 1966).
Tuan Guru di Lombok, memang rata-rata sudah merasakan iklim akademik di Makkah yang dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu agama.