REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setelah Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, pro dan kontra muncul setelah dua ormas Islam besar di Indonesia berbeda pandangan terkait penetapan tersebut.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin mengatakan, penetapan Hari Santri Nasional ini dapat mengganggu persatuan bangsa. Lantaran akan kembali mendikotomikan antara kelompok santri dan abangan.
"Adanya Hari Santri Nasional berpotensi mengganggu upaya luhur tadi. Menguatnya Kaum Santri bisa mendorong menguatnya Kaum Abangan," ujar Din, Jumat (16/10).
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia ini juga menilai Hari Santri Nasional yang terkait dengan peristiwa Resolusi Jihad hanya relevan dengan kelompok tertentu. Padahal, menurut Din, Hari Nasional, kecuali hari-hari besar keagamaan seharusnya menjadi hari bagi semua elemen bangsa.
Sebelumnya, ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) meminta pemerintah untuk menjadikan 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional. Usulan ini, menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj untuk memperingati kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan atas fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ary pada tanggal 22 Oktober 1945.