REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) perlu memberi dampak positif pada peningkatan kualitas pesantren di Indonesia.
"Kalau Hari Santri berakibat positif tentu itu baik. Misalnya dengan meningkatnya eksistensi santri dan perhatian pada kualitas pesantren," ujar cendekiawan muslim KH Didin Hafidhuddin ketika dihubungi Republika, Senin (19/10).
Didin mengakui, ada polemik yang lahir dari penetapan HSN setiap 22 Oktober ini. Persyarikatan Muhammadiyah, sebelumnya dikabarkan berkeberatan dengan HSN karena akan menimbulkan dikotomi santri dan non-santri.
Menurut Direktur Program Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini, wajar Muhammadiyah berpendapat seperti itu. "Kalau (HSN) menjadi eksklusif milik kelompok tertentu seperti yang menjadi pertimbangan Muhammadiyah tentu keberatan itu bisa dipahami," ujar Didin.
Terkait hal itu, Didin mendorong adanya dialog intensif dalam semua unsur terlibat seperti Kementerian Agama, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia. Didin menyarankan, karena pemerintah sudah membuat keputusan, hendaknya semua pihak mengikutinya.
Ia pun meminta Kemenag untuk meningkatkan sosialisasi sehingga tidak ada timbul kesalahpahaman. "Kita harus terbiasa jika sudah ada keputusan dalam setiap perbedaan pendapat hendaknya mengikuti keputusan itu. Itu etika bermusyawarah kita," ujar Didin.