REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, digelarnya pengadilan kasus 1965 di Den Haag merupakan kebodohan sejarah. Untuk itu, bila ada orang Indnesia yang ikut serta dalam pengadilan tersebut maka dia jelas bukan nasionalis.
"Apa kita mau diajari soal HAM oleh negara yang melakukan pelanggaran HAM. Kita semua tahu berapa banyak rakyat kita yang dijadikan korban semasa Belanda menjajah Indonesia. Satu contoh saja, bagaimana soal pembantaian 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan yang dilakukan Westerling itu. Mengapa mereka yang di Den Haag diam dan seolah tidak ada apa-apa. Pengadian HAM kasus 1965 di Denhaag itu jelas merupakan kebodohan sejarah,’’ kata Anhar Gonggong, ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/11).
Anhar mengatakan, fakta sejarah pun telah menyatakan perbuatan pelanggaran HAM yang serius, seperti pembunuhan, juga dilakukan oleh aktivis PKI pada periode 1960-1965. Kaum komunis pada saat itu juga tercatat terus memprovokasi bangsa ini, khususnya umat Islam, seperti pembubaran organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, hendak mengambil tanah milik pesantren, dan berbagai aksi sepihak lainnya. "Sejarah mencatatnya. Kita semua tahu, tapi apakah yang menggelar pengadilan di Den Haag mau tahu,’’ ujarnya.
Menurut Anhar, harus disadari dengan sebaik-baiknya bahwa penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM terkait peristiwa sekitar 1965 dipastikan tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, hanya akan menimbulkan persoalan baru dan perpecahan antarmasyarakat kembali terjadi.
"Tidak ada sejarahnya pengadilan HAM akan menyelesaikan masalah. Tidak ada itu, maka pahamilah sejarah dengan baik. Jadi, sekali lagi, jangan lakukan kebodohan sejarah,’’ tegas Anhar Gonggong.