Ahad 20 Dec 2015 04:33 WIB

Lindungi Identitasnya, Muslim California Tutupi Kerudung dengan Jaket

Rep: C30/ Red: Indira Rezkisari
Mirvette Judeh berpose dengan anak-anaknya di kediaman mereka di Buena Park, California.
Foto: Reuters
Mirvette Judeh berpose dengan anak-anaknya di kediaman mereka di Buena Park, California.

REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA -- Mirvette Judeh mulai menutupi kerudungnya dengan jaket bertudung atau hoodie sejak dua pekan lalu. Kepada anak-anaknya, Judeh menjelaskan ia melakukan itu agar tidak ada yang mencoba melukainya dan anak-anaknya. Sebab penggunaan kerudung adalah identitas jelas Muslimah.

"Sekarang saya harus berbincang ini dengan anak-anak," ujar Judeh (39 tahun) yang tinggal di California selatan. "Ini menyakitkan hati. Kalau saya harus mengatakan pada anak-anak bahwa pilihan agama saya bisa membuat mereka tidak aman."

Sejak kasus penembakan terjadi di San Bernardino awal bulan ini oleh dua Muslim, warga Muslim di California semakin resah mempertahankan identitas mereka. Penyebabnya sejak kejadian tersebut warga Muslim semakin banyak menerima perilaku kebencian.

Apalagi para orang tua yang kerap kali bingung bagaimana menjelaskan bahwa identitas mereka bisa mengancam jiwa. Terutama bagi Muslimah yang terlihat jelas karena mengenakan hijab.

Sebelum adanya tragedi San Bernardino, Muslim di California memang sering mendapatkan sentimen anti-Muslim. Tragedi yang menewaskan 130 orang tersebut hanya menambah kehidupan Muslim di AS menghawatirkan.

Sara Haddad (27) merasa bingung bagaimana dan kapan menjelaskan kepada anaknya mengenai sentimen tersebut. Ia tidak ingin masa kanak-kanak anaknya justru terisi oleh penembakan dan serangan-serangan kekerasan.

Sara juga menceritakan ketika dia dan keluarga pergi keluar rumah, mereka selalu dalam kondisi waspada. Ia harus berhati-hati dan memastikan tidak ada yang mengikuti keluarganya.

Hal serupa juga dialami oleh Jinan Al-Marayati (15). Jinan belajar di Sekolah Katolik di Los Angeles, ia merasa tertekan bila harus membela agamanya ketika pembahasan tentang Islam muncul menjadi bahan diskusi di kelas.

"Saya merasa memiliki dua identitas di sini," ujar Marayati, dilansir dari Malay Mail Online, Ahad (20/12).

Alasannya, saat bersama teman-temannya yang non-Muslim dia menjadi sedikit berbicara apalagi jika berkaitan dengan hal-hal yang membuat mereka tidak nyaman. Sedangkan saat berkumpul bersama teman-teman Muslimnya, Marayati merasa dirinya belumlah menjadi seorang Muslim. Marayati merasa masih banyak yang harus diperdalam mengenai agamanya.

Di Baltimore. Arif Khan merasa tidak ingin masa kanak-kanak putranya berputar pada perbincangan tentang penembakan atau serangan lain yang berhubungan dengan Islam. Ia dan istrinya, yang mengenakan hijab, juga mengambil langkah hati-hati saat keluar rumah.

Khan mengatakan ia dan istrinya ingin anak mereka, yang baru satu bulan, bisa tumbuh sebagai Muslim yang baik. Tapi ia juga ingin bisa mengajarkan ke anaknya kalau menjadi Muslim dan nilai-nilai Amerika dapat saling melengkapi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement