Selasa 12 Jan 2016 07:17 WIB

Benarkah Pernikahan dengan Sistem Matrilineal Dilarang Agama?

Pernikahan.   (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Pernikahan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Pakar hukum adat dan hukum Islam Universitas Indonesia (UI) Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah mengatakan sistem Patrilineal dan Matrilineal tidak diterima dalam syariat Islam. Menurutnya, Alqur'an hanya menghendaki sistem kemasyarakatan bilateral atau parental. 

Hazairin mengatakan, kedua sistem perkawinan dari waris itu menyalahi prinsip-prinsip yang diatur dalam hukum Islam. Hal ini sesuai dengan isi Alquran yang tercermin dalam surah an-Nisa ’ ayat 22-24 yang menyebutkan tentang larangan-larangan perkawinan. Ketiga ayat tersebut memperinci orang-orang yang haram dinikahi, misalnya saudara perempuan dan anak perempuan dari saudara perempuan.

Dari larangan-larangan perkawinan yang tercantum dalam Alquran serta berdasarkan kategori- kategori antropologis mengenai kekerabatan, Hazairin juga melihat tidak adanya larangan cross and parailel cousin marriage, yaitu perkawinan silang dan perkawinan antara saudara sepupu, yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan anak wanita dari saudara ibunya, atau perkawinan seorang laki-laki dengan anak wanita saudara perempuan ayahnya. 

Tegasnya, perkawinan sepupu dapat berlangsung, baik sepupu silang, sepupu sejajar ibu (ibunya bersaudara), maupun sepupu sejajar ayah (ayahnya bersaudara). Karena tidak ada larangan perkawinan dalam kasus seperti ini, maka tidak ada pula kewajiban untuk melaksanakan perkawinan eksogami (seorang laki- laki didatangkan dari luar kian) dan endogami (laki- laki didatangkan dari klan itu sendiri).

“Ketentuan ini jelas tidak sesuai dengan sifat keluarga matrilineal, yang melarang perkawinan sepupu sejajar ibu, karena kedua pihak selain satu suku (klan), lahir, dibesarkan, dan menetap di rumah yang sama,” jelas Hairin seperti dikutip dalam Ensiklopedi Hukum Islam.

Demikian juga halnya keluarga yang bersifat patrilineal, yang melarang perkawinan sepupu sejajar ayah, sebab anak- anak sepupu sejajar ayah, lahir, dibesarkan, dan menetap di rumah yang sama. Jadi, ketentuan di atas hanya sesuai dalam sistem kekerabatan parental atau bilateral.

Dari kenyataan ini, Hazairin berkesimpulan bahwa sistem kemasyarakatan yang dikehendaki Alquran adalah bilateral. Ini dapat dilihat secara konkret pada perkawinan antara Ali bin Abi Talib (603 M-40 H/661 M) dan Fatimah az-Zahra (605- 633 M), yang sama-sama berasal dari satu klan (sepupu). Bentuk perkawinan seperti ini tidak dilarang dalam hukum Islam.

Sistem kekerabatan bilateral yang dijelaskan di atas juga dianut dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan). Dalam pasal 8 dijelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Dalam kelompok yang dilarang mengadakan perkawinan itu tidak termasuk hubungan sepupu, baik sepupu silang maupun sepupu sejajar ayah atau sepupu sejajar ibu. 

 

 

sumber : Pusat Data Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement