REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yunahar Ilyas
Tidak banyak yang tahu nama sebenarnya dari Paman Bilal. Semua orang memanggilnya Bilal, mulai dari anak-anak yang belajar di Taman Pendidikan Alquran yang diasuhnya, sampai jamaah Shalat Jumat yang setiap Jumat mendengarkan suaranya yang merdu melantunkan azan.
Gelar Bilal sudah melekat padanya karena tugasnya sebagai muazin resmi masjid di kampungnya. Di samping menjadi muazin, Paman Bilal juga menjadi guru membaca Alquran di TPA yang terletak persis sebelah selatan masjid.
Keahliannya adalah qiraah, membaca Alquran dengan irama. Anak-anak yang sudah khatam Alquran dan berminat mendalami qiraah diserahkan pembimbingannya kepada Paman Bilal.
Setiap generasi hampir selalu ada anak asuhnya yang berhasil jadi juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, bahkan juara di tingkat nasional.
Dalam membimbing dan mendampingi murid-muridnya ikut MTQ, Paman Bilal tak mengenal kata lelah. Semuanya dilakukan dengan tulus tanpa bayaran apa pun. Kecintaannya pada Alquran dan seni membaca Alquran yang telah membuatnya selalu bersemangat.
Setiap hari Paman Bilal jalan kaki pulang pergi ke masjid dan TPA. Letak rumahnya memang tidak terlalu jauh dari masjid, sekitar 1,5 km. Jarak itu cukup melelahkan juga jika dalam sehari dia bolak-balik ke masjid beberapa kali.
Pernah suatu kali, seorang jamaah masjid menawarkan untuk memboncengnya ke masjid naik sepeda motor, tapi Paman Bilal menolak. Paman Bilal beralasan, “Jika naik sepeda motor, saya terlalu cepat sampai, padahal saya belum selesai membaca Alquran.”
Rupanya jalan pulang-pergi ke masjid itu diisi Paman Bilal dengan membaca surah-surah tertentu yang dihafalnya. Demikianlah Paman Bilal, setia dengan dua tugas utamanya, menjadi muazin dan guru qiraah. Sudah puluhan tahun berlalu, entah berapa banyak angkatan murid-murid TPA yang diasuhnya.
Beberapa di antara mereka juga sudah ada yang menjadi guru TPA. Begitu juga di masjid, sudah muncul beberapa kader yang siap menggantikan tugasnya sebagai muazin. Jika Allah SWT menjemput ajalnya, dia sudah siap. Tapi, satu keinginannya yang belum terwujud, yakni berhaji.
Sebagai muazin tanpa honor dan guru TPA dengan honor sekadarnya, Paman Bilal tidak sanggup membayar ongkos naik haji. Jangan ditanya berapa rindunya Paman Bilal untuk melihat Ka’bah secara langsung dan beribadah di Tanah Suci.
Setiap kali diundang menghadiri syukuran orang pergi haji, ia selalu terharu, sambil berdoa diberi kesempatan ke Makkah, suatu saat nanti.
Doa Paman Bilal terkabul. Salah seorang muridnya yang sudah puluhan tahun berkarier di Ibu Kota, bertemu dengannya saat pulang kampung menghadiri syukuran haji kerabatnya. Pertemuan itu menyadarkan murid bahwa sang guru belum haji.
Tanpa membuang waktu, dia mengontak beberapa temannya yang kesemuanya murid-murid Paman Bilal. Setelah uang terkumpul maka diproseslah pendaftaran haji untuk guru mereka yang sederhana itu. Dan akhirnya, Paman Bilal bisa menunaikan ibadah haji sebelum meninggal dunia beberapa tahun lalu.