Oleh: Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semakin besar ta'abbud seseorang, maka semakin besar peluang hamba mendapatkan isti'anah. Kita tidak bisa membayangkan adanya isti'anah tanpa ta'abbud kepada Allah 'azza wa jalla. Ta'abbud merupakan pencarian, riyadhah, mujahadah, sekaligus bentuk pendakian (taraqqi) seorang hamba, sedangkan isti'anah merupakan wujud konkret rahman dan rahimiyyah-Nya.
Banyak di antara kita hanya lebih mengenal dan familier dengan isti'anah, yang bisanya secara konsisten memohon pertolongan Allah SWT terhadap berbagai persoalan dan kesulitan hidup, tetapi tidak konsisten menjalankan fungsi ta'abbud. Idealnya, pola keseimbangan ta'abbud dan isti'anah diparalelkan. Satu sisi, kita konsisten mengamalkan ta'abbud dan pada sisi lain Allah SWT konsisten melakukan isti'anah.
Allah SWT menjamin kasih sayangnya kepada orang yang secara konsisten mengamalkan ta'abbud. Allah SWT menegaskan, Wa quli'malu fa sayarallahu 'amalakum (Dan katakanlah: "Berkaryalah maka Allah akan memperlihatkan hasil karya kalian..." QS at-Taubah [9]:105). (Baca: Dua Kata Kunci Ayat Kelima Alfatihah)
Konsep ta'abbud-isti'anah dan taraqqi-tanazul merupakan pola relasi ideal antara hamba dan Tuhannya. Jika pola relasi ini mampu dipertahankan, hamba inilah yang disebut Allah SWT penempuh shirath al-mustaqim (jalan lurus), yang mendapatkan banyak keberuntungan (al-ni'amah). Sebaliknya, orang yang tidak menjalani pola relasi ideal itu disebut sebagai orang yang dimurkai (al-magdhub) yang mendapatkan banyak kesulitan hidup (al-dhalin).
Di dalam menjalani kehidupan ini, sang hamba sedapat mungkin berusaha memaksimalkan proses ta'abbud-nya seraya menghindari hal-hal yang terlarang dari Tuhan yang Mahatinggi. Bisa jadi percuma dan sia-sia sebuah proses ta'abbud yang berbanding lurus dengan tingkat pelanggaran, dosa, dan maksiat. Dosa dan maksiat membebani seorang hamba mendaki ke langit dan pada saat yang bersamaan juga menjadi faktor semakin jauhnya seorang hamba dengan Tuhannya.
Sekali lagi, ta'abbud tidak mesti dengan ibadah khusus. Menjalankan rutinitas kehidupan sehari-hari kita dengan niat baik, lillahi ta'ala, itu sudah merupakan ta'abbud. Memelihara mulut berupa bertutur kata yang baik, menghindarkan jatuhnya banyak korban melalui mulut, misalnya, memfitnah, berbohong, tertawa terbahak-bahak melampaui batas, makanan dan minum dari yang haram dan syubhat. Demikian pula, memelihara seluruh pancaindra untuk tidak berdosa itu juga bagian dari ta'abbud. Semoga kita memperoleh petunjuk-Nya secara rutin dan terus-menerus. Amin.