Senin 01 Feb 2016 06:15 WIB

Haedar Nashir : Muhammadiyah Tidak Akan Masuk Gerakan Deradikalisasi

Rep: neni ridarineni/ Red: Muhammad Subarkah
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjawab pertanyaaan wartawan, pada acara Konpers Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12).
Foto: Republika/ Darmawan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjawab pertanyaaan wartawan, pada acara Konpers Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan, Muhammadiyah tidak akan masuk dalam gerakan deradikalisme. Hal ini dilakukan agar Muhammadiyah tidak terjebak dalam kepentingan proyek.

"Kami tidak akan masuk gerakan deradikalisme karena akan menjebak kepentingan proyek," ujarnya dalam seminar nasional moderasi antitesis radikalisme dan deradikalisme di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (29/2).

Menurutnya, gerakan keagamaan memang seharusnya tidak terjebak dengan hal-hal yang kelihatannya menguntungkan. Namun kata dia, hal itu justru berakibat  merugikan bangsa dan negara sendiri.

Menurutnya, program deradikalisme yang kemudian dikaitkan dengan program nasional akan juga terkait dengan sumber pendanaan, sponsor dan sebagainya. Jika itu terjadi kata dia, maka program ini akan sulit sekali dihentikan meski teroris tidak ada sekalipun, program itu akan tetap ada.

"Kita tidak ingin dengan program deradikalisme justru tercipta kesan Indonesia isinya terorisme. Bahkan masjid-masjid akan diprogram radikalisme.," katanya.

Diakuinya, gerakan dereadikalisme itu muncul ketika di Indonesia ada kehendak menghilangkan cara kekerasan yang dilakukan oleh terorisme. Dan aksi ini seringkali dikaitkan dengan kelompok Islam tertentu.

"Para pejabat mengatakan bukan Islam namun yang terjadi selalu dilakukan kelompok tertentu yang terkait dengan adama Islam," ujarnya.

Muhammadiyah kata dia, memang tidak setuju dengan tindakan terorisme. Namun deradikalisme juga akan memberikan dampak yang tidak sederhana.

Karena menurut Haedar, gerakan radikalisme sendiri  selalu ada kepentngan ekonomi yang tidak sederhana yang berada di belakangnya.

Sementara itu, guru besar sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sunyoto Usman dalam kesempatan itu mengatakan, teroris itu sebagai kelompok tidak tunggal, sangat berdimensi dan terus menemukan bentuk baru. Radikalisme sendiri telah  menjadikan human role menjadi god role, dan seringkali muslim menjadi kelompok  tertuduh.

"Karenanya deradikalisme seringkali muslim yang kena. Padahal banyak itu radikalisme agama di sekte dan agama lain juga ada, tidak hanya terkait muslim saja. Di literatur ada itu sejak dulu," katanya.

Mantan KABAIS TNI, Laksda TNI (purn) Soleman B Ponto saat berbicara mengatakan, bahwa deradikalisasi maupun moderasi untuk pemberantasan terorisme justru akan menghasilkan masalah baru.

Karena melaksanakan moderasi pada dasarnya adalah melemahkan daya pemersatu dengan merubah perilaku. Karenanya jika moderasi digunakan memberantas terorisme maka akan berhadapan langsung dengan agama. Sebab selama ini terorisme seringkali dikaitkan dengan agama tertentu.

"Moderasi akan dianggap sebagai upaya melemahkan ajaran agama. Karena selama ini organisasi terorisme pada umumnya menggunakan agama sebagai daya pemersatu," katanya.

Hal yang sama juga terjadi jika deradikalisasi dilakukan. Karena pada dasarnya hal ini dikerjakan dengan upaya melemahkan daya pemersatu tersebut. Ketika deradikalisasi ini digunakan untuk pemberantasan terorisme maka juga tidak terelakkan akan berhadapan dengan agama dan dianggap sebagai upaya melemahkan ajaran agama. "Ini akan menimbulkan masalah baru lagi," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement