Kamis 03 Mar 2016 01:30 WIB

Pasar Valas Timpang, BI Terbitkan Aturan Hedging Syariah

Rep: C37/ Red: Nur Aini
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, selama ini permintaan terhadap valuta asing cenderung lebih tinggi dibandingkan penawaran. Kondisi ini akan membuat pergerakan nilai tukar rupiah tertekan di saat ekonomi global sedang tidak stabil.

"Pasar valuta asing timpang, cenderung permintaan valas itu tinggi daripada penawaran. Dalam situasi market seperti ini apabila ada shock di global, maka akan sangat rentan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah," ujar Direktur Program Pendalaman Pasar Keuangan BI, Edi Susianto dalam diskusi bersama wartawan di Gedung BI Jakarta, Rabu (2/3).

Edi menjelaskan, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, ketika kondisi ekonomi global sedang mengalami tekanan. Ada dua langkah yang dilakukan BI terkait hal ini.

"Langkah yang harus dilakukan, pertama adalah meningkatkan supply valas. Kedua, mengendalikan permintaan valas itu sendiri," kata Edi.

Dalam rangka mengendalikan permintaan valas agar permintaan valas itu lebih terkendali, dilakukan hedging syariah khusus untuk sektor keuangan syariah. Sehingga pihaknya menerbitkan Peraturan BI (PBI) 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Hedging Syariah).

Edi mengatakan, saat ini bisnis keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan, sudah banyak terkait dengan bisnis di valuta asing. Misalnya pembiayaan terkait ekspor impor, aktivitas keuangan syariah dengan valas, penempatan dana induk dalam valas, layanan haji dan umroh, serta surat berharga syariah valas. Bahkan, pembiayaan valuta asing di syariah, sejak 2008-2009 menunjukkan peningkatan tajam.

"Meski secara volume masih jauh di bawah konvensional, perkiraan biaya haji pun juga meningkat. Ini tentu butuh valas. Ini kan ekspos terhadap gerakan nilai tukar rupiah," ungkapnya.

Apabila dibiarkan, kata Edi, ini akan menghambat proses bisnis dan keuangan perbankan syariah, sehingga diperlukan hedging syariah. Di samping itu, ada aspirasi dari perbankan syariah agar regulator segera mengeluarkan ketentuan hedging syariah.

"Apabila ini tidak dilakukan pengendalian akan ada potensi kerugian, karena fluktuasi nilai tukar. Implikasinya pada lembaga  keuangan syariah dan pelaku di keuangan syariah," tuturnya.

Upaya menjaga stabilisasi rupiah melalui PBI Hedging Syariah ini dilatarbelakangi oleh peningkatan utang luar negeri yang tidak memiliki lindung nilai, kondisi neraca perdagangan, perlambatan dan ketidakstabilan ekonomi global serta adanya perubahan kebijakan Federal Reserve AS. Perlunya BI menerbitkan aturan ini juga terkait dengan pasar valas domestik yang masih rentah terhadap market shock hingga adanya dominasi BUMN dalam pembelian valas di transaksi spot.

"Tanpa adanya upaya menjaga stabilitas rupiah di tengah gejolak ekonomi global,  hal ini bisa memicu ketidakstabilan pasar keuangan seperti yang pernah terjadi pada 1997/1998," ujarnya.

Bahkan, tekanan pada rupiah juga akan meningkatkan beban APBN, karena kenaikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif tenaga listrik. "Implikasi pada pelaku usaha, akan ada risiko keuangan bagi mereka," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement