REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, dinilai tidak bisa menyingkirkan budaya Jawa. Salah satu penyebabnya adalah sikap beberapa anggota Muhammadiyah terutama di Kota Yogyakarta yang masih terus mengadopsi sikap KH Ahmad Dahlan terhadap kejawaan.
Selain itu kehadiran priyayi santri terutama Kauman Yogyakarta juga memastikan bahwa Muhammadiyah tidak dapat menghilangkan unsur budaya Jawa. Hingga tingkat tertentu, bahkan mereka masih dipengaruhi budaya Jawa, meskipun mereka tidak semilitan priyayi nonsantri.
"Karenanya Kejawaan masih menjadi bagian Muhammadiyah. Dalam konteks ini, purifikasi berdiri sejajar dengan sebagian nilai-nilai Jawa. Hal ini menghasilkan sifat ambigu Muhammadiyah terhadap budaya Jawa,"ujar Ahmad Najib Burhani, peneliti dari Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) dalam paparan bukunya berjudul Muhammadiyah Jawa pada diskusi bulanan di Gedung PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Sabtu (5/3).
Burhani menjelaskan, sikap ambigu Muhammadiyah terhadap budaya Jawa ini terlihat manakala secara lahiriah Muhammadiyah masih dipengaruhi kejawaan namun secara batiniah justru melawan kejawaaan.
Ambiguitas pun terlihat sejak pendirian Muhammadiyah. Hampir semua pendiri Muhammadiyah adalah abdi dalem Kraton Yogyakarta.Akibatnya Muhammadiyah membangun hubungan erat dengan kraton sendiri. Namun, Muhammadiyah sendiri bertujuan merasionalkan praktik-praktik tradisional dan memodernkan sistem sosial.
"Logikanya ini berarti Muhammadiyah punya agenda memperbaharui adat-adat sinkretis dan menyerang struktur sosial feodal aristokratik yang mendominasi masyarakat Jawa dan kraton yang menjadi porosnya," katanya.