Oleh: Ina Salma Febriany
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan manusia seringkali diuji oleh beberapa hal; baik itu kesedihan juga kebahagiaan. Bagi mereka yang diuji dengan kesedihan lalu inaabah (kembali) kepada Allah dengan hati yang tenang lagi lapang sebab ia sangat meyakini bahwa musibah, fitnah (cobaan) dan ujian berasal dari Allah dan hanya Dialah yang mampu menghilangkannya.
Namun, ketika manusia diuji dengan sebuah kebahagiaan; pekerjaan yang layak, harta melimpah, rumah megah, kendaraan mewah—masih banyak di antara kita yang gagal mengenal Allah. Mengenal Zat-Nya bahwa segalanya itu bersumber dari Allah sehingga tak jarang alfa untuk bersyukur. Tentu saja, kondisi yang kedua ini yang tidak kita inginkan.
Alquran telah merangkai dengan begitu santun dan indah salah satu contoh manusia yang namanya diabadikan karena hati dan dirinya aniaya atas ni’mat-ni’mat Allah. Dia adalah Qarun bin Yashar bin Qahats sepupu Musa bin Imran bin Qahats. Ada juga yang mengatakan bahwa dia itu adalah pamannya Musa. Namun yang benar adalah sepupunya Nabi Musa.
Ibnul Asir Al-Jazari dalam Al Kamil fit Tarikhi, Jilid 1 halaman 156- 157, menuturkan bahwa sebelum menjadi saudagar yang amat kaya raya, Qarun pernah memohon doa kepada Musa agar diberi kecukupan rezeki untuk diri dan keluarganya; sebab dulu Qarun adalah orang yang sangat miskin yang bahkan untuk menghidupi (makan seharihari) saja sulit.
Akhirnya, dengan kedermawanan sifat Nabi Musa, ia pun didoakan. Nabi Musa berdoa agar Qarun dihilangkan dari segala kesulitan hidup dan saat itu pula Musa pun mengajarkan Qarun untuk membuka usaha mandiri; mengelola emas dengan modal yang diberikan Nabi Musa.
Hari dan bulan pun berganti. Usaha Qarun pun berkembang pesat sekali. Hingga terkumpullah ribuan pundi-pundi dan emas yang menghiasi kediamannya kini. Qarun yang terkenal sebagai saudagar yang kaya raya dan memiliki banyak pembendaharaan harta, lama kelamaan ditenggelamkan oleh lautan ni’mat Allah yang lupa ia syukuri.
Ia pun menjadi kufur dan sangat pelit. Konon, kunci-kunci gudang pembendaharaannya dibawa oleh empat puluh baghal (keledai). Sayang seribu sayang, dengan harta yang melimpah ruah, ia berbuat aniaya terhadap kaumnya.
Kemudian merekapun (kaumnya) menasihati Qarun dan melarangnya (dari kezaliman dan kebakhilannya), dengan mengucapkan firman Allah, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri,” kaumnya pun melanjutkan, “Dan carilah pahala akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada sesama) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan,” (Qs Al-Qashash: 77)
Lalu Qarun menjawab dengan jawaban yang memperdayakan kemurahan Allah yang diberikan kepadanya, “Sesungguhnya aku diberi (harta dan gudang pembendaharaan itu) semata-mata karena ilmu yang ada padaku) Pendapat lain mengatakan, ”Seandainya Allah tidak ridha akan diriku, tidak ada pengetahuan-Nya akan keutamaan yang ada pada diriku, tidaklah Dia memberikannya kepadaku,”
Qarun pun enggan bertaubat, ia tetap berada dalam keangkuhan dan kesombongannya. Ia keluar menemui kaumnya dengan memperlihatkan kekayaannya hingga orang-orang yang lalai (dari mengingat Allah) dan yang tidak memiliki pengetahuan berangan-angan ingin sekali hidup bergelimang harta seperti Qarun, namun mereka yang memiliki kedalaman ilmu Allah, melarang untuk berharap seperti itu.
Lalu tibalah utusan Nabi Musa yang diperintah mengambil zakat dari Qarun akhirnya terperdaya dengan kata-kata Qarun, mereka berkata, “Andalah pemimpin kami, tuan kami, silahkan perintah kami sekehendak Anda,” Qarun pun semakin besar kepala. Lalu ia berkata, “Aku perintahkan kalian untuk mendatangi fulanah pezina, hendaklah kalian berikan upah kepadanya (untuk memperdaya Musa).” Maka merekapun melakukan apa yang diperintahkan Qarun.
Kemudian Qarun pun datang kepada Musa seraya mengatakan, “Sesungguhnya kaummu telah sepakat dengan kamu baik hal-hal yang diperintah maupun dilarang,” kemudian Musa keluar menghadap mereka dan berkata, “Betul. Bahwasannya Allah berfirman siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya. Siapa yang menuduh zina, akan kami dera, siapa yang menuduh zina dan tidak ada saksi kecuali seorang perempuan, akan kami dera 100x dan jika yang mengaku zina itu perempuan maka akan kami rajam hingga mati,” lalu Qarun pun berkata kepada Musa, “Walau kamu yang melakukannya?” Musa menjawab, “Benar,”
“Sesungguhnya Bani Israil telah menuduh bahwasannya kamu berzina dengan fulanah,” jawab Qarun. Musa terkejut dan menjawab, “Panggilah perempuan itu kemari,”
Qarun pun berbangga diri, ia yakin akan menjerat Musa dalam jebakan yang dibuatnya sendiri. Dengan kondisi yang begitu mendebarkan dan disaksikan banyak kaum Bani Israil, Musa pun berusaha untuk tetap tenang. Ia banyak memohon pada Allah agar Allah yang membuka kejadian sebenarnya.
Doa Musa pun terkabul. Ketika perempuan itu datang, Musa berkata “Aku bersumpah atas nama Allah dan Zat Yang Menurunkan Taurat, apakah benar bahwa aku melakukan zina sebagaimana yang dikatakan mereka?” tanya Musa dengan tegas. Suasana pun hening seketika. Qarun tersenyum simpul seolah yakin bahwa pasti Musa akan terkena fitnah melalui perempuan pezina itu.
Dengan tatapan meyakinkan dan suara yang jelas, perempuan itu pun menjawab, “TIDAK. Mereka berdusta! mereka memberikan upah agar aku menyatakan zina denganmu,” maka Musapun bersujud dan mendoakan mereka lantas Allah mewahyukan kepada bumi agar menelan mereka tanpa sisa.
“Maka Kami benamkan dengan dia dan tempat tinggalnya, maka tidak ada baginya golongan yang sanggup menjadi penolong selain Allah. Dan tidaklah Qarun dan kaumnya termasuk orang-orang yang mendapat pertolongan,” (Qs Al-Qashash: 81)
Tiada yang kekal selain Zat Yang Maha Kekal; Allah ‘Azza Wajalla. Qarun; kendati ia kaya raya dan meyakini bahwa kekayaannya itu adalah seizin Allah, ia terpedaya oleh kemilau dunia dan isinya. Harta yang dimilikinya bukan justeru membuat ia merendah dan dermawan, harta tersebut justeru melenakannya dan enggan berbagi untuk sesama.
Kisah ashabul amwal (pemilik harta; Qarun, red) ini sepatutnya kita ambil sebagai bekal bahwa Allah telah menjadikan kisah Qarun ini sebagai pelajaran dan pengingat bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu kisah fitnah harta (cobaan atas harta); dimana kebanyakan manusia banyak yang tersibukkan dalam mengumpulkannya. Harta bisa mengajak pemiliknya untuk berlaku lalim, angkuh dan takabbur sehingga melupakan hak Allah.
Abdurrahman An-Najdi dalam Tasirul Manaan fi Qashasil Quran (1429; 432-433) menuliskan bahwa kebanyakan para ashabul amwal (pemilik harta) tidak memiliki keinginan lain selain memperbanyak jumlah harta dan bakhil dalam mengeluarkan zakatnya. Para pencari harta tak ubahnya seperti orang yang meminum air laut, semakin diminum maka ia akan semakin bertambah haus.
Namun, seorang ahli ilmu yang kuat keimanannya dan yakin bahwa mereka akan menghadapi yaumil hisab, meski bagaimanapun keindahan dunia dengan sejuta pesonanya, ia meyakini bahwa segala yang dimilikinya akan musnah dan sirna berkat keyakinannya bahwa hidup di akhiratlah yang akan lebih baik dan lebih kekal (khayr wa abqaa). Lebih lanjut, Abdurrahman mengungkapkan bahwa harta hanya akan bermanfaat bila seorang hamba diberi rezeki disertai dengan ilmu dan taqwa.
Semoga kisah ashabul amwal yang diabadikan dalam Al-Quran ini mampu menjadi bekal kita bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya terletak dari melimpahnya harta; tapi bagaimana dengan harta itu mampu membawa kita menjadi hamba-Nya yang semakin 3T: tunduk, takut dan taqwa kepada-Nya.