REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengungkapkan, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga menjelang akhir triwulan 1 ini didominasi oleh dampak eksternal.
Yanuar menjelaskan, penguatan kurs rupiah karena derasnya aliran dana asing akibat selisih suku bunga The Fed terhadap BI Rate masih lebar. Bahkan sejak The Fed menaikkan suku bunganya 0,25-0,5 akhir tahun lalu.
Kurs rupiah sejak awal tahun hingga menjelang akhir kuartal I 2016 terus menunjukkan penguatan. Pada 22 Maret 2016, kurs rupiah yang tercatat pada Jakarta Interbank Spot Rate (JISDOR) mencapai Rp 13.175. Masuknya dana asing hingga Rp 600 triliun lewat surat utang disebut menjadi faktor menguatnya rupiah.
Yanuar mengungkapkan, Bank Indonesia (BI) tak bisa hanya berharap pada faktor eksternal. Menurut dia, dana asing bisa kembali lari dari Indonesia karena sifatnya masih berupa Hot Money. Dia menjelaskan, penguatan kurs rupiah pun bisa kembali jeblok seperti apa yang terjadi pada 2009. "Ini polanya sama,"kata dia, Selasa (22/3).
Yanuar pun menyarankan agar BI juga melakukan quantitative easing seperti yang dilakukan AS untuk memperkuat fundamental ekonomi di dalam negeri.
Adanya kebijakan tersebut, kata dia, dapat membuat sektor riil bergerak sehingga perekonomian tidak bergantung pada modal asing. Terlebih, kata dia, suku bunga BI sudah turun. "Cetak rupiah untuk ketahanan pangan, ketahanan energi, perbaikan jalur logistik,"kata dia.
Menurut Yanuar, quantitative easing bisa dilakukan BI seiring dengan kebijakan fiskal dari pemerintah. Catatannya, penyerapan APBN harus diperbaiki. Dia mencontohkan quantitative easing dari pemerintah AS yang digunakan untuk pengangguran dan industri. Ekonomi domestik pun diperbaiki. Dia pun menyesalkan kebijakan BI selama ini yang belum maksimal. Menurut dia, BI belum berani melakukan inovasi dalam kebijakan moneter.