Rabu 23 Mar 2016 12:56 WIB

Jadi Bagaimana Nasib Transportasi Daring? Ini Penjelasan Kemenhub

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Indira Rezkisari
Puluhan sopir transportasi konvensional melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Rabu (23/3).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Puluhan sopir transportasi konvensional melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Rabu (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Sugihardjo menilai, konflik demonstrasi yang terjadi kemarin tidak hanya melibatkan taksi konvensional dengan taksi daring, melainkan juga dengan ojek daring.

"Saya melihat di lapangan itu konfliknya bukan hanya antara taksi resmi dengan angkutan online uber dan grab tapi kita sama-sama menyaksikan ada juga dengan gojek. Saya ingin meluruskan bagaimana sikap kemenhub tentang angkutan online dan angkutan konvesional," ujarnya dalam jumpa pers di Kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (23/3).

Ia menegaskan, persoalan yang terjadi bukan pada online atau tidak online, tapi lebih kepada resmi dan tidak resmi.

"Aplikasi teknologi informasi merupakan suatu keniscayaan yang harus didukung dan dikembangkan kepada semua jenis layanan angkutan umum sehingga layanan kepada masyarakat menjadi lebih baik," lanjutnya.

Soal angkutan daring, sikap Kemenhub, ia katakan, berbeda antara aplikasi daring yang diterapkan terhadap Uber dan Grab Car dengan yang diterapkan terhadap Gojek, Grab Bike, dan sejenisnya.

"Pertama, kalau Gojek dan lain sebagainya itu sama-sama aplikasi IT tapi diterapkan pada sepeda motor yang berdasarkan UU angkutan sepeda motor tidak termasuk kategori angkutan umum," lanjutnya.

Di sisi lain, lanjut dia, pada faktanya di lapangan angkutan umum belum bisa menjangkau seluruh wilayah dan jam operasional yang belum sepanjang waktu.

"Maka Gojek itu kami menganggapnya sebagai angkutan yang sifatnya komplemen, mengisi kekosongan layanan angkutan umum yang resmi. Karena itu tidak diatur dalam angkutan umum, maka kami menilainya sebagai angkutan komplemen, atau masih grey area," Sugihardjo melanjutkan.

Sementara di sisi lain, kalau Uber dan Grab Car bertentangan dengan aturan resmi yang sudah diatur. Karena, sambung dia, angkutan penumpang tidak dalam trayek itu ada dalam bentuk taksi maupun rental car yang sudah diatur dengan UU.

"Sehingga ini menurut pengamatan kami itu merupakan kompetitor, jadi bukan komplemen tapi kompetitor dari angkutan umum resmi yang diatur UU," sambungnya.

Dengan demikian, memperhatikan seluruh pasal di UU 22/2009 itu sampai hari ini operasi Uber dan Grab Car dari sisi aturan mengenai LLAJ adalah ilegal.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement