Kamis 24 Mar 2016 15:45 WIB

Driver Online dan Konvensional Jangan Terjebak Persaingan Pengusaha

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Achmad Syalaby
Bentrok sopir taksi dan Gojek di kawasan Thamrin, Jakarta, Selasa (22/3).
Foto: Antara Foto
Bentrok sopir taksi dan Gojek di kawasan Thamrin, Jakarta, Selasa (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Mudhofir Khamid menilai, aksi unjuk rasa sopir taksi dan angkutan umum lainnya merupakan buah dari persaingan usaha antarkorporasi. Ia mengaku prihatin melihat demonstrasi pada Selasa (22/3) lalu yang berujung bentrok sesama pengemudi transportasi di sejumlah titik di Jakarta.

"Saya melihat, persaingan usaha antarkorporasi telah berkembang menjadi konflik horizontal antara sesama kelas buruh, antarsesama pengemudi taksi dan angkutan umum serta driver Gojek," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (24/3).

Mudhofir mendesak pemerintah bersikap tegas dan bijaksana dalam permasalahan itu. Dia mengatakan, permasalahan yang terjadi bukan semata-mata soal pengemudi transportasi konvensional melawan pengemudi transportasi daring (online), terdaftar atau tidak, bayar pajak atau tidak. Namun, permasalahan ekonomi yang dirasakan berat oleh kelas buruh transportasi umum di Indonesia.

"Faktanya berkata, sebagian penduduk Indonesia sudah jatuh hati dengan transportasi online dan juga berhasil menjadi mata pencarian alternatif bagi banyak orang," tutur dia.

Namun, Mudhofir berujar, pemerintah tetap harus mendengarkan tuntutan dari pengemudi transportasi konvensional. Sebab, mereka menjadi korban akibat persaingan usaha antarkorporasi.

Tuntutan pengemudi taksi konvensional terdengar seperti meminta pembekuan izin operasional angkutan umum pelat hitam (Grab dan Uber)‎ karena melanggar UU No 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan. Serta, soal tudingan pengemudi konvensional bahwa perusahaan tranportasi online tidak bayar pajak yang menyebabkan tarif lebih murah.

Sebenarnya, menurut Mudhofir, tuntutan tersebut adalah kamuflase dari permasalahan inti sesungguhnya, yaitu keluhan rakyat Indonesia yang berprofesi sebagai sopir atau pengemudi soal susahnya mencari uang dewasa ini.

Ia menegaskan, soal birokrasi dan perizinan perusahaan bukan urusan buruh, urusan soal pajak yang harus dibayar oleh perusahaan bukan tanggungjawab buruh, itu urusan perusahaan dan pemerintah.

Buruh transportasi atau pengemudi, baik konvensional maupun daring, hanya berkewajiban menjalankan kewajibannya bekerja sesuai prosedur yang ada. "Buruh jangan terjebak menjadi kaki tangan kapitalis dan korporasi, jangan mau diadu domba oleh pengusaha lewat balutan narasi soal kondisi perusahaan yang sedang sulit karena regulasi kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap pengusaha," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement