REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB, Kamis (23/6), menyatakan keprihatinan atas penahanan terhadap para anggota oposisi politik di Republik Demokratik Kongo dan mendesak presiden menyelenggarakan pemilu akhir tahun ini berdasarkan amanat undang-undang dasar negaranya.
Pemerintah Republik Demokratik Kongo (DRC) telah mengatakan pemilihan kemungkinan tidak bisa diselenggarakan tepat waktu karena masalah logistik. Sementara itu, lawan-lawan politik Presiden Joseph Kabila menudingnya berupaya mempertahankan kekuasaan.
Kabila, yang mulai menjalankan kekuasaan sejak 2001, menurut undang-undang dasar tidak diperbolehkan maju untuk pencalonan presiden ketiga kalinya dalam pemilihan, yang dijadwalkan berlangsung pada November. Namun, seorang sekutu utama Kabila memunculkan kemungkinan penyelenggaraan referendum agar ia bisa mencalonkan diri lagi.
Dalam resolusi untuk memperbarui sanksi-sanksi PBB, kelima belas anggota Dewan Keamanan menekankan perlindungan terhadap kebebasan mendasar serta hak asasi manusia agar dapat membuka jalan bagi pemilihan yang damai, bisa dipercaya, melibatkan semua pihak, transparan dan berlangsung tepat waktu di DRC, sesuai dengan Konstitusi.
Resolusi itu memperluas kriteria sanksi agar Dewan Keamanan bisa memasukkan orang-orang yang melanggar hak asasi ke dalam daftar hitam.
Duta Besar Kongo untuk PBB Ignace Gata Mavita wa Lufuta mengatakan negaranya tidak yakin resolusi yang disahkan Dewan Keamanan pada Kamis itu dikaitkan dengan proses pemilu. Ia mengatakan pemerintahan Kabila sedang memusatkan perhatian pada penyelenggaraan pemilu yang damai dan bahwa langkah itu jangan dipakai sebagai dalih untuk memaksakan pemilu.
"Berdasarkan pengalaman dari dua pemilihan sebelumnya, kami memerlukan semacam kondisi untuk menyelenggarakan pemilihan yang layak dan yang tidak diganggu dengan munculnya kekerasan," katanya kepada Dewan. Ia memperingatkan bahwa resolusi tersebut bisa menghidupkan kembali ketegangan politik.