REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat bahwa terorisme bukan dilandasi persoalan agama semata, melainkan juga dipicu oleh invasi negara-negara besar terhadap negara asal pelaku teroris.
"Radikalisme dan terorisme selalu berkaitan. Radikalisme dalam bentuk seperti ini (teror) dimulai Al Qaeda. Lalu timbul ISIS. Al Qaeda dari Afghanistan, ISIS dari Suriah dan Irak. Ketiga negara itu sama-sama gagal. Ada masalah internal (di negara-negara itu). Namun yang paling penting adanya invasi dari negara-negara besar," katanya saat menjadi pembicara kunci Pertemuan Internasional Kontra-Terorisme (IMCT) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (9/8).
Kemudian, lanjut dia, negara-negara kecil tersebut hancur akibat invasi negara-negara besar sehingga banyak pemuda kehilangan harapan. Sebagian di antara mereka mengungsi ke negara-negara besar, sedangkan sebagiannya lagi marah dan melakukan tindakan terorisme.
"Jadi, bukan agama yang menyebabkan mereka marah. Indonesia sudah tahu semua, siapa Amrozi cs. Mereka bukan ahli agama. Mereka dapat (pengalaman) dari Afghanistan berupa penjajahan yang dilakukan oleh negara besar," kata Kalla di depan peserta dari sejumlah negara itu.
Negara-negara besar boleh marah melihat ratusan korban akibat terorisme di Paris dan Belgia, namun yang perlu diingat ada jutaan orang yang juga menjadi korban pengeboman negara-negara besar di Irak dan Suriah.
Demikian pula dengan di pelaku teror di Libya, Irak, Suriah, yang menurut Wapres, bukan semata oleh kediktatoran para pemimpin negaranya, melainkan juga termotivasi oleh kehancuran negaranya akibat invasi negara besar sehingga mereka tidak memiliki harapan.
"Terorisme yang terjadi di negara Barat, tentu bukan maksud ingin mengislamkan Paris atau mengislamkan Belgia, tidak.Sekiranya ada negara Islam yang mengebom Italia, menghancurkan Italia, apakah kira-kira generasi muda Eropa tidak marah dan kembali meneror negara-negara Islam? Pasti itu terjadi. Ini yang terjadi menurut pikiran saya, tentu pikiran kita bisa berbeda-beda. Tapi pengalaman saya mengatasi masalah-masalah di Indonesia," katanya.
Bahkan menurut Kalla, Perdana Menteri Inggris Tony Blair pun mengakui kesalahannya menginvasi negara-negara kecil. "Dunia harus mengakui kesalahan itu sehingga terjadi kehancuran," ujarnya.
Oleh karena itu, Wapres mengajak para peserta IMCT melihat secara jernih permasalahan yang menimbulkan terorisme dan radikalisme. "Jangan ada negara besar menginvasi negara-negara lain hanya dengan alasan tidak benar. Senjata memang bisa mengurangi (tindakan terorisme), namun tidak bisa menyelesaikan," ujarnya mengingatkan.
Dalam kesempatan tersebut, Kalla juga menyebutkan bahwa saat ini Indonesia sedang berjuang keras mengatasi radikalisme yang memicu semua orang bisa berbuat apa saja yang membahayakan orang lain. "Kenapa orang sekarang tidak berpikir (berbuat nekat)? Karena dia mau bunuh diri. Jadi inti persoalan pada dewasa ini bukan terorisnya, tapi ada sekolompok orang yang mau mati hanya dengan...Ini problem utama yang sulit dan harus kita atasi," katanya.
Menurut Kalla, model terorisme saat ini berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu saat maraknya pembajakan pesawat. "Dulu tuntutan mereka 'liberation'," ujarnya.
Oleh sebab itu, pula dalam kesempatan tersebut, Kalla berpesan kepada para delegasi IMTC untuk bersama-sama mengatasi motif yang melatarbelakangi terjadinya terorisme dan radikalisme, termasuk penggunaan dana.
IMCT tersebut dihadiri 140 orang yang mewakili 23 negara dan tiga organisasi internasional, yakni PBB, ASEAN, dan Interpol.
Kegiatan bertemakan "Countering Cross-Border Movement of Terrorism" tersebut dirangkai dengan Pertemuan Puncak Kedua Pembiayaan Kontra-Terorisme yang digelar atas kerja sama PPATK-Austrac.
Dalam pertemuan tersebut, Wapres didampingi Menkopolhukam Wiranto, Menkumham Yasonna Laolay, Jaksa Agung HM Prasetyo, dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Acara tersebut juga dihadiri oleh Jaksa Agung Australia George Brandis.