REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga mendesak pemerintah untuk segera memberikan keputusan terhadap penurunan harga gas industri. Sebab, saat ini produktivitas industri yang menggunakan gas sebagai energi maupun bahan baku semakin menurun.
"Pertumbuhan industri keramik turun 30 persen, dan akan turun lagi kalau harga gas tidak segera diturunkan," ujar Elisa di Jakarta, Ahad (21/8).
Gas menjadi salah satu elemen penting untuk industri keramik dengan penggunaan sebesar 40 persen dari keseluruhan produksi. Elisa menjelaskan, saat ini industri keramik mengalami kerugian karena ongkos produksi lebih tinggi dari ongkos jualnya.
Menurut Elisa, dengan turunnya harga gas tidak hanya meningkatkan daya saing industri namun juga membantu industri agar bisa menembus break event point sehingga pada akhirnya dapat mempertahankan tenaga kerja.
Diungkapkan Elisa, penurunan produktivitas industri keramik sudah dirasakan sejak Oktober 2014. Menurutnya, pada saat itu industri keramik sudah mengajukan permintaan penurunan harga gas kepada pemerintah namun sampai sekarang belum ada hasilnya.
Hal ini, lanjut dia, membuat kepercayaan industri terhadap pemerintah menjadi minim karena janji yang tak kunjung terealisasi. Apalagi saat ini pemerintah menambah lagi sektor industri lain agar mendapatkan harga gas yang terjangkau.
"Selesaikan yang dulu saja, nggak usah menghitung angka macam-macam, nanti lama lagi. Jangan sampai industri makin turun dan nanti justru mengurangi lapangan kerja," kata Elisa.
Diakui Elisa harga gas di Indonesia terbilang sangat mahal dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Ia mencontohkan, harga gas di Medan mencapai 12,2 dolar AS per MMBTU sedangkan di Malaysia hanya 4 dolar AS per MMBTU.
Sementara itu, Singapura yang membeli gas dari Indonesia bisa menjual ke sektor industrinya sebesar 4 dolar AS per MMBTU.