Senin 22 Aug 2016 17:56 WIB

Menkominfo Didesak tak Beri Fasilitas Berlebihan Bagi Operator Asing

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nur Aini
Operator telekomunikasi (Ilustrasi)
Foto: Reuters
Operator telekomunikasi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA –  Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengkaji ulang rencana pemberian fasilitas berlebihan bagi operator asing di Indonesia. Belakangan ini, beredar kabar bahwa Menkominfo akan melakukan revisi kebijakan biaya interkoneksi dan revisi PP Nomor 52 Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

“Janji pemerintah saat ini untuk membeli kembali Indosat belum terlaksana, Menkominfo malah akan menerapkan kebijakan yang berpotensi merugikan satu-satunya BUMN Telekomunikasi di Indonesia yaitu PT Telkom dengan rencana kebijakan perhitungan biaya interkoneksi, network sharing, dan spectrum sharing,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (22/8).

Terkait kebijakan biaya interkoneksi, Wisnu menyoroti prosesnya yang terkesan terburu-buru sehingga asas kepatutan penandatangan diabaikan. Untuk kondisi saat ini yang tanpa Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), maka seharusnya tidak layak seorang Plt Dirjen menandatanganinya. Isi surat tersebut, kata dia, juga terkesan membingungkan, di mana seorang pejabat negara harusnya paham bahwa kebijakan yang dikeluarkannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Wisnu mengatakan terkait dengan penetapan tarif interkoneksi Rp 204 juga tidak mencerminkan keadilan. Penetapan tarif di bawah biaya yang harus ditanggung PT Telkom karena terlanjur membangun jaringan hingga ke pelosok  tetapi masih di atas biaya operator-operator asing yang malas membangun jaringan sampai pelosok. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi Federasi, kenapa kebijakan tersebut  menguntungkan asing dan merugikan BUMN.

 

Sementara itu, soal network sharing dan spectrum sharing, Wisnu juga menyoroti prosesnya yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya hak masyarakat untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan dalam proses pembentukan kedua rancangan revisi PP tersebut.

Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis berpendapat rencana pemerintah memaksakan network sharing  berpotensi merugikan BUMN Telekomunikasi yang sudah membangun. Sementara di sisi lain, kebijakan itu hanya menguntungkan operator milik asing yang malas membangun. Kemudian spectrum sharing dapat mengakibatkan jual beli spektrum frekuensi radio. Menurut Wisnu, sudah seyogyanya sumber daya alam terbatas ini dikelola dengan baik untuk tujuan efisiensi. Jika melihat kondisi di lapangan, kedua rancangan tersebut berpotensi merugikan satu-satunya BUMN Telekomunikasi di Indonesia, bahkan bisa mengancam keamanan dan ketahanan negara.

Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana menolak berbagai kebijakan pemerintah tersebut. Meenurut dia, kebijakan tersebut terkesan dipaksakan padahal jelas-jelas melanggar rasa keadilan dan dapat merusak tatanan industri telekomunikasi. Proses maupun isinya bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku di atasnya serta bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan, kemandirian dan ketahanan bangsa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement