REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lidus Yardi
Handzolah al-Usayyidi RA bercerita, suatu ketika ia ditanya Abu Bakar as-Shiddiq RA tentang kabar dan keadaannya. Ia menjawab, “Keadaan Handzolah telah munafik.” Abu Bakar RA berkata, “Maha Suci Allah, apa yang engkau katakan?”
Handzolah pun menjelaskan, “Jika kami berada di sisi Rasulullah SAW, kami teringat akan neraka dan surga, sampai-sampai kami melihatnya seperti dihadapan kami. Namun, tatkala kami tidak lagi berada di sisi Rasulullah dan bergaul bersama istri-istri kami, anak-anak kami, dan sibuk dengan berbagai urusan (dunia), kami pun banyak lupa.”
Abu Bakar RA pun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami juga merasakan hal yang serupa”. Ketika Handzolah RA dan Abu Bakar RA menceritakan keadaan mereka ini kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah bersabda: "Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya keadaan kalian sebagaimana keadaan kalian saat bersamaku dan kalian selalu mengingat itu, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur kalian dan di jalanan. Namun, lakukanlah itu sesaat demi sesaat/terus menerus." (HR Muslim).
Kisah di atas mengingatkan suatu realitas kehidupan yang kita jalani. Ada saatnya, kita merasa begitu dekat dengan Allah SWT, sehingga takut dengan neraka dan sangat berharap dengan surga-Nya.
Namun adakalanya pula, saat kita disibukkan dengan berbagai urusan dunia, kita pun lalai dengan semua itu. Bahkan, tanpa disadari, kita sering jauh dari Allah dengan melupakan akhirat seraya melakukan banyak maksiat.
Jika sahabat Rasulullah SAW saja yang kualitas diri, akidah, dan kuantitas amal mereka tak diragukan lagi, masih merasakan besarnya fitnah (keburukan) dunia, merasa diri mereka telah munafik, maka seharusnya kita yang banyak lalai dan melupakan Allah ini, lebih pantas merasa munafik, mawas dan introspeksi diri.
Satu hal yang patut dicermati, baik-buruknya keadaan (perilaku) manusia sangat berhubungan dengan hatinya. Apabila hati manusia telah rusak, tidak lagi mengenal kebaikan, maka rusaklah dirinya.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah yang apabila baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, dia adalah hati." (HR Bukhari).
Manusia penting merawat hati. Karena hati itu sifatnya berbolak-balik, alias mudah dimasuki berbagai fitnah. Ada beberapa cara merawat hati agar ia tetap hidup, istikamah di atas kebaikan agama, terhindar dari berbagai fitnah, dan selalu mendorong pemiliknya untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Pertama, zikrullah. Ibnul Qayyim al Jauziyyah berkata, bahwa kebutuhan hati terhadap zikir bagaikan kebutuhan ikan terhadap air. Apabila ikan tidak mendapatkan air, maka ikan tersebut akan mati. Begitula hati, ia akan hidup dengan dzikir kepada Allah SWT dan dia akan mati tanpa berdzikir kepada-Nya.
Rasulullah SAW bersabda: "Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-Nya dengan orang yang tidak berzikir kepada Rabb-Nya, adalah seperti orang yang masih hidup dengan orang yang telah mati." (HR Bukhari).
Kedua, bergaul dengan orang-orang baik. Hati akan terawat dengan baik, jika bergaul dengan orang-orang baik. Karena orang-orang baik akan mengajak kepada kebaikan, mengingatkan akan kesalahan, dan merupakan cerminan kepribadian. Allah SWT mengingatkan, "Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkumpullah bersama-sama orang yang benar. (QS At Taubah [9]: 119).
Ketiga, ilmu dan duduk di majelis-majelis ilmu. Imam Syafi’i berkata, bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya (nur) tidak mungkin diberikan Allah kepada seorang hamba yang bermaksiat kepada-Nya. Dengan demikian, kebodohan adalah kegelapan bagi hati. Apabila hati telah gelap, jauh dari cahaya ilmu, penerang iman, maka manusia tidak akan dapat lagi membedakan mana yang benar dan salah.
Sebab itu, tidak akan pernah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui (lihat QS Az-Zumar [39]: 9). Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk merawat hati. Namun, setiap usaha tidak akan pernah sempurna kecuali dengan bertawakal dan berdoa kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.