Selasa 04 Oct 2016 15:26 WIB

Peneliti AS: Pengakuan Agama Merupakan Isu Sensitif di Indonesia

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Damanhuri Zuhri
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Budaya dan Agama asal Amerika Serikat, Robert W Hefner, mengatakan sejak tahun 1980-an Indonesia telah menjadi fokus utama dalam studinya terkait budaya dan agama. Karena Indonesia mewakili demokrasi dan pluralitas agama di dunia.

"Isu terkait pengakuan agama masih sensitif, dan saya ragu untuk menjadi pembicara awalnya, tetapi berkaca dari latar belakang saya yang telah meneliti Indonesia sejak 38 tahun lalu seperti suku Tengger di Jawa Timur, saya akan menyumbang perspektif saya dalam forum ini," ujar dia dalam pra simposium internasional kehidupan beragama di Hotel Sari Pan Pasific, Selasa (4/10).

Hefner yang juga seorang Direktur Institut Budaya dan Agama di Universitas Boston mengatakan salut kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang berani mengangkat isu sensitif tersebut. Isu ini muncul di tengah-tengah benturan agama terjadi seperti munculnya ISIS dan Islamifobia di dunia terutama Barat.

"Di tengah kebencian dan alergi dengan umat Islam, di kalangan Muslim mulai bangkit rasa kebanggaan dan pengakuan sebagai orang Islam, terutama di AS dan Kanada selama saya melakukan riset," jelas Hefner.

Menurut Hefner, Islam sangat berpengaruh di dunia dan Indonesia menjadi negara yang penting dalam dunia Islam. Mayoritas Muslim di Indonesia menjalani demokrasi tidak dangkal tetapi secara mendalam.

Itulah sebabnya perlindungan agama dan pengelolaan agama di Indonesia sebuah tugas penting. Indonesia sudah saatnya memberikan contoh bukan hanya sebagai mayoritas Muslim yang berdemokrasi tetapi juga menjalankan hak-hak warga negara dengan baik.

Dia menegaskan tidak ada satu bentuk atau formula yang pasti untuk mendefinisikan agama. Di AS misalnya, dikenal sebagai pasar bebas agama dan kehidupannya liberal. Setiap individu bebas menjalankan ibadahnya masing-masing.

Pengelolaan agama juga lebih bebas dan cenderung lebih agamis dibandingkan Eropa Barat. AS tidak ada pengakuan agama, kecuali komunitas atau organisasi agama ingin meminta keringanan pajak untuk tempat ibadah.

Di Jerman ada sistem pengakuan agama, gereja Kristen dan Katolik di sana mendapatkan sumbangan dari pajak sekitar delapan hingga sembilan persen. Saat ini, Muslim di Jerman sedang berusaha untuk mendapatkan bantuan dari pajak untuk masjid, sekolah dan rumah sakit Islam.

Ketika agama baru muncul seperi scientologi, AS membebaskan penduduknya menganut agama baru tersebut tetapi di Jerman tidak diakui bahkan ditolak dan tidak diberikan fasilitas apapun. Berbeda dengan AS dan Jerman, di Inggris, pengakuan agama disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan daerahnya. Ketika agama tersebut hanya menyebat di satu provinsi saja maka hanya pemerintah lokal yang mengakuinya tidak secara nasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement