Kamis 06 Oct 2016 07:27 WIB

Tawakal

Menyikapi musibah dengan tawakal (ilustrasi).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
Menyikapi musibah dengan tawakal (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Supriyadi

Dikisahkan dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Diin karya Imam Al-Ghazali, suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab melihat sekelompok orang yang mengaku sebagai orang-orang yang bertawakal. Mereka (merasa) pasrah kepada Allah SWT tetapi mereka tidak melakukan suatu usaha apa-apa.

Lantas Khalifah Umar pun bertanya kepada mereka, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah mutawakkilun (orang-orang yang bertawakal).” Khalifah Umar pun menyangkal, “Bukan. Kalian adalah muta’akkilun (orang-orang yang menanti diberi makan).

Setelah dialog tersebut, Khalifah Umar pun menegur dan menasihati mereka, “Janganlah salah seorang di antara kalian duduk dan tidak berusaha mencarai rezeki dengan berdoa, ‘Ya Allah, berilah kami rezeki.’ Kalian telah mengetahui bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas atau hujan perak.

Teguran Khalifah Umar terhadap orang-orang yang hanya pasrah tanpa berusaha itu mengandung hikmah bahwa tawakal itu beda arti dengan pasrah.

Orang-orang yang bertawakal itu lebih dahulu mengusahakan dan mengupayakan apa yang mereka inginkan. Setelah itu, mereka baru memasrahkan hasil dari usaha dan upaya itu kepada Allah.

Artinya, berusaha dulu baru pasrah. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang mereka harapkan, maka mereka bersyukur. Akan tetapi, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, mereka tak berputus asa.

Demikianlah tawakal. Lain halnya dengan pasrah. Orang-orang yang pasrah tanpa disertai usaha dan upaya itu merupakan orang-orang yang malas.

Mereka mengira bahwa takdir itu bisa mereka gapai dengan sendirinya. Teologi semacam inilah yang di waktu kemudian membentuk aliran Jabariyah. Mereka merasa bahwa takdir Allah sudah tertulis.

Jika seseorang ditakdirkan untuk kaya, maka kaya tersebut akan datang dengan sendirinya tanpa usaha apa-apa. Padahal, bukan seperti itu realitasnya.

Allah SWT berfirman dalam surah al-Ra’d ayat 11, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Nyatanya, Khalifah Umar menegur mereka yang hanya pasrah tanpa berusaha. Itu bukan tawakal, melainkan ta’akkal (menanti diberi makan).

Jika hanya menanti yang memberi makan dan tidak berusaha, lantas bagaimana kehidupan ini? Allah SWT senantiasa menepati sunatullah sebagai patokan umat manusia.

Maksudnya, kita tidak akan berjalan jika kita hanya duduk dan enggan bangun. Tawakal itu bukan pasrah, melainkan ikhtiar pada prosesnya dan pasrah pada hasilnya.

Sudah menjadi keharusan bagi umat Islam untuk bekerja keras dan giat guna mencari ma’isyah. Islam tidak menganjurkan hidup dengan menekuni kerahiban, yang menjauhi dunia secara total dan enggan untuk bekerja.

Islam justru mengajarkan keseimbangan, bekerja untuk kebutuhan duniawi dan bekerja untuk mendukung kebutuhan ukhrawi selain totalitas beribadah yang memang untuk kepentingan ukhrawi semata. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement