Selasa 08 Nov 2016 18:32 WIB

Mesir, Menara Ilmu, dan Al Azhar

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
Masjid Al Azhar, Kairo, Mesir
Foto: memphistours
Masjid Al Azhar, Kairo, Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam merupakan agama mayoritas di Mesir. Jumlahnya 90 persen lebih dari total keseluruhan populasi di Mesir atau sekitar 80 juta. Sisanya beragama Kristen dan kepercayaan lainnya. Hampir seluruh umat Islam di Mesir adalah Suni. Islam telah diakui sebagai agama resmi negara sejak 1980.

Mesir merupakan wadah peradaban besar yang ada di permukaan bumi, sedangkan Al-Azhar merupakan wadah pendidikan Islam yang mempunyai sejarah pergulatan dan dinamika yang unik. Al-Azhar merupakan salah satu cikal bakal sistem pendidikan tinggi yang reputasinya diakui dunia internasional.

Zuhairi Misrawi dalam Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi dan Kiblat Keulamaan menjelaskan sejak awal berdiri 973 M, al-Azhar telah menjadi bagian penting dalam pembentukan generasi muda Muslim yang mempunyai wawasan keagamaan yang luas.

Dalam bentangan sejarah selanjutnya, Al-Azhar menjadi pusat peradaban Suni meskipun awalnya dijadikan sebagai wadah untuk proliferasi paham Syiah Ismailiyah, dalam rangka menandingi paham Suni yang merupakan paham mayoritas kalangan Muslim di Mesir.

Meskipun demikian, sebagian ulama al-Azhar tidak hanya berhenti pada nalar koridor Suni-an sich. Reformasi keagamaan menjadi sebuah keniscayaan bagi beberapa ulama pada masa modern.

Sejak dibukanya keran studi ke Prancis dan kedatangan Jamaluddin al-Afgani ke Mesir pada 1871 M, mahasiswa al-Azhar dan alumni memandang pentingnya reformasi keagamaan.

Nalar Suni masih perlu dipertahankan, tetapi sistem pendidikan dan upaya untuk mengembangkan ijtihad juga perlu digalakkan. Itulah paham Suni yang dikembangkan al-Azhar.

Rifa'ah Tahtawi merupakan seorang ulama al-Azhar yang ditunjuk sebagai imam dan mahasiswa di Paris, Prancis. Tahtawi merupakan ulama pertama yang membuka diri terhadap pengetahuan Barat.

Selama di Paris, ia belajar beberapa disiplin ilmu pengetahuan dari sejarah, ilmu politik, dan lain-lain. Ilmu ini ia pelajari dari sejumlah guru besar, antara lain Caussin de Percival, Sylvestre de Sacy, dan E F Jomard. Pengalamannya yang begitu luas tentang Prancis dituangkan di dalam bukunya, Takhlis al-Ibriz fi Talkhis Bariz.

Dalam konteks ideologi global yang saat ini sedang dipertontonkan oleh sebagian gerakan keislaman kontemporer, Al-Azhar di bawah kepemimpinan Syekh Besar Ahmed Tayeb memastikan bahwa Al-Azhar akan menjadi pusat dari gerakan Islam moderat.

Hal itu menjadi prioritas utama, yang akan dilakukan dalam rangka memperbaiki citra Islam dan memancangkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, baik di Mesir maupun dunia internasional.

Garis-garis besar yang akan dilakukan dalam mengembangkan Islam moderat, antara lain, pertama memastikan bahwa paham Islam moderat tidak akan melanggar atau melampaui garis-garis primer yang terdapat dalam ajaran Islam, yang dikenal dengan at-tsawabit. Hal-hal yang menjadi pilar Islam merupakan acuan utama sebagai komitmen keberislaman.

Garis pertama ini merupakan sebuah komitmen yang harus ditegaskan secara eksplisit, agar tidak ada anggapan bahwa Islam moderat merupakan paham yang mengabaikan hal-hal yang primer dalam Islam.

Seorang Muslim moderat pada hakikatnya adalah seseorang yang memiliki komitmen melaksanakan hal-hal primer dalam Islam, sebagai pertanggungjawaban seorang hamba kepada Allah.

Kedua, membumikan toleransi. Oleh sebab itu, pada masa kepemimpinannya di Al-Azhar, Ahmed Tayyeb memastikan untuk senantiasa menggalakkan dialog antaragama sebagai salah satu upaya membangun toleransi di antara umat beragama.

Tidak ada toleransi tanpa dialog. Ahmed Tayeb menyadari dialog yang berkelanjutan antara seluruh warga negara akan mewujudkan kesadaran tentang pentingnya kebinekaan dan kebersamaan, dalam mewujudkan kebangsaan yang berdiri di atas prinsip kesetaraan.

Ketiga menghilangkan fanatisme dan menjauhi ekstremisme. Ia memandang, para ulama terdahulu memiliki pandangan keagamaan yang beragam.

Para pengikutnya sangat mengelu-elukan pandangan para imam mazhab, tetapi di antara mereka tidak ada yang terperosok dalam fanatisme apalagi ekstremisme. Perbedaan pendapat menjadi sebuah keniscayaan di antara mereka. Bahkan, mereka saling menghargai dalam solidaritas keislaman yang kokoh.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement