REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim advokasi pandangan dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah memenuhi unsur pidana dalam kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan dirinya.
Koordinator Tim Advokasi MUI Ahmad Yani, di Jakarta, Senin (14/11), mengatakan unsur tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal 156a KUHP UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahagunaan dan Penodaan Agama sudah terpenuhi dalam sebagian pidato Ahok di Kepulauan Seribu saat melakukan kunjungan kerja.
"Sudah ada subjek pelakunya, Ahok sendiri, dan objek yang dilakukan penistaan ada beberapa kategori, pertama agama Islam, kedua kibat suci Alquran, Surat Al Maidah itu sendiri, ketiga ulama, ustad, dai dan sebagainya. Semua sudah terpenuhi unsur pidana," kata Ahmad, dalam konferensi pers di Gedung MUI Jakarta itu pula.
Menurut Ahmad, aparat penegak hukum tidak perlu mempertimbangkan sengaja atau tidaknya Ahok mengutip Surat Al Maidah ayat 51 saat berdialog dengan warga di Kepulauan Seribu. Karena itu, Tim Advokasi MUI juga mendesak Polri dan Kejaksaan Agung untuk melakukan proses hukum dengan meningkatkan status Ahok menjadi tersangka dan melakukan penahanan.
Selain itu, aparat penegak hukum juga diharapkan segera melakukan pelimpahan ke kejaksaan atau P21 untuk kemudian dilimpahkan ke pengadilan. Tim Advokasi MUI juga memandang bahwa kasus-kasus sebelumnya yang berkaitan dengan penistaan agama seharusnya dilakukan penahanan terlebih dahulu.
Tim advokasi yang saat ini berjumlah 481 anggota aktif, juga siap mengawal proses hukum yang sedang berjalan dengan diperkuat tausiah kebangsaan MUI pada 9 November 2016 terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Selain itu, ratusan advokat MUI ini juga mendesak Komisi III DPR yang membidangi hukum dan hak asasi manusia untuk segera membentuk panitia kerja (panja) pengawasan kasus penistaan agama ini.