Senin 28 Nov 2016 15:55 WIB

Pemerintah Akui Penyaluran KUR Belum Merata

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
 Petugas sedang berbincang dengan debitur di kantor penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BNI, Jakarta, Rabu (24/1).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Petugas sedang berbincang dengan debitur di kantor penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BNI, Jakarta, Rabu (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, penyerapan KUR relatif tinggi. Data terakhir memperlihatkan sekitar Rp 85 triliun dari total target Rp 109,27 triliun mampu disalurkan oleh lembaga keuangan. Namun, nilai penyaluran ini tidak merata. Penyaluran lebih banyak diberikan untuk pelaku usaha di sektor perdagangan.

"KUR untuk mikro ada 65 persen. Tapi pas saya tanya 65 persen ini untuk produksi padi dan lain-lain, ternyata bukan. Perdagangan ini ada 47 persen, 18 persen baru pertanian," kata Darmin dalam Rakornas Kadin, di Jakarta, Senin (18/11).

Menurut Darmin, penyaluran KUR ke sektor perdagagan tidaklah salah, tetapi kurang tepat jika persentasenya tidak sesuai. Artinya, ketika KUR disalurkan harus seimbang, meskipun ada perbedaan, angkanya diminta tak terlalu jauh.

Lembaga keuangan dinilai kesulitan untuk menyalurkan KUR ke sektor pertanian, perkebunan, dan maritim. Sebab, proses produksi membutuhkan waktu dalam periode tertentu. Misalnya untuk pertanian membutuhkan secepatnya 3-4 bulan sampai masa panen. Hal serupa terjadi di sektor perkebunan.

Sementara untuk sektor maritim, seperti nelayan pun memiliki waktu periode untuk melaut. Mereka tidak setiap waktu pergi mencari ikan, karena harus mengikuti kondisi cuaca. Dengan periode tersebut, Lembaga Keuangan dinilai Darmin bisa menurunkan bunga KUR yang biasa dipatok per tahun sembilan persen, kemudian diturunkan menjadi 4,5 persen mengikuti periode produksi.

Selain itu, Darmin pun meminta agar lembaga keuangan tidak meminta pelaku usaha di sektor ini untuk langsung membayar cicilan KUR di bulan pertama setelah meminjam. Karena, mereka baru bisa mendapatkan hasil setelah masa panen di atas tiga bulan. "Kalau langsung diminta, dari mana mereka dapat uangnya. Nanti paling-paling kreditnya dipotong. Ini yang perlu dicek ke lapangan, kalau perlu pembayarannya di lima bulan setelah peminjaman, sehingga mereka tidak pontang-panting nyari uang," ungkap Darmin.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad mengakui bahwa lembaga keuangan seperti perbankan selama ini belum berani untuk membiayai usaha yang kurang populer seperti sektor pertanian. Belum adanya kepastian pengembalian dari sektor tersebut membuat kebanyakan perbankan menahan diri menyalurkan bantuan termasuk dana dari KUR. Untuk mengantisipasi hal ini, Muliaman meminta kepada pelaku usaha sektor ini untuk membuat sebuah ekosistem yang bisa menjadi akses para pelaku usaha mencari bantuan.

Muliaman mencontohkan, ketika nelayan atau petani datang ke perbankan secara perorangan, bank tidak dengan mudah memberikan bantuan dalam bentuk kredit. Sebab bank belum bisa memastikan bahwa nelayan atau petani ini bisa mengembalikan pinjaman sesuai dengan persyaratan yang diberikan. Namun, ketika petani ini masuk dalam sebuah ekosistem yang telah terjaga dan berjalan cukup lama, pihak bank bisa lebih mudah memberikan pinjaman. Bank akan melihat bahwa ekosistem yang menaungi sektor ini sehat dan layak mendapatkan bantuan dana.

"Makanya petani harus masuk ke ekosistem dulu, sehingga mudah masuk ke bank. Kita juga harus membangun ekosistem ini dengan jelas," kata Muliaman.

 Dari data OJK, penyaluran KUR hingga Oktoer 2016 telah mencapai Rp 80,22 triliun atau 73,45 persen. Seiring dengan peningkatan realisasi KUR, none performing loan  (NPL) KUR masih terjaga di bawah batas acuan sebesar 0,26 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement