REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) DKI Jakarta, Bimo Prasetio, menilai, sertifikasi halal jangan hanya dilihat sebagai tantangan atau ancaman atau buat pengusaha, tapi sebagai kesempatan atau peluang untuk bisa melebarkan bisnis mereka. Menurut dia, sertifikasi halal ini akan membuat pengusaha semakin mudah untuk melakukan ekspor produk mereka ke negara-negara lain, terutama yang memiliki perhatian terhadap produk-produk halal.
"Selain itu, dapat memberikan kepastian kepada pengusaha untuk dapat berkompetisi menjual produknya. Karena saat ini, tingkat kesadaran masyarakat, khususnya konsumen Muslim itu, makin tinggi terhadap kehalalan suatu produk," ujar Bimo.
Bila dilihat dari perspektif pengusaha, Bimo menjelaskan, UU JPH ini memang terkesan memberatkan, terutama dengan keharusan mendapatkan sertifikasi halal. Namun, di sisi lain, UU ini sebenarnya memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen Muslim. Jika berbicara konsumen, dia melanjutkan, maka yang namanya pebisnis pasti selalu memberikan solusi dan berorientasi kepada konsumen.
"Siapa yang bisa memberikan solusi dan keamanan kenyaman konsumen? Ya pengusaha. Makanya, ini harusnya dilihat sebagai peluang," katanya.
Dia menambahkan, saat berbicara soal kehalalan suatu produk sebenarnya bukan hanya untuk kaum Muslim, tetapi secara universal. Dengan adanya sertifikasi halal maka produk yang diuji tersebut sudah melalui serangkaian prosedur pemeriksaan, yang menuntut produk tersebut supaya bisa aman dan higienis. Jadi, bukan sekedar halal, tapi juga aman, higienis, dan secara perlahan meningkatkan kualitas produk tersebut.
Selain itu, Bimo berharap, pengusaha jangan melihat ini hanya sebagai bentuk kewajiban yang ditetapkan pemerintah, tapi juga sejalan dengan keinginan pasar, terutama masyarakat Muslim yang mulai kritis dengan kehalalan suatu produk. Permintaan sertifikasi halal ini pun sejalan dengan perubahan perilaku market, yang menghendaki adanya jaminan terhadap produk-produk konsumsi.
Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga harus mengayomi para pengusaha dan tidak memberatkan pengusaha. Pemerintah diharapkan bisa terus melakukan sosialisasi dan pendekatan-pendekatan, terutama kepada pengusaha-pengusaha kecil dan UKM.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani, menegaskan, Apindo masih menolak soal adanya poin mandatory atau kewajiban yang tertera dalam UU JPH tersebut. Menurut dia, poin kewajiban sertifikasi halal terhadap pengusaha ini akan sulit diterapkan di lapangan. Pengusaha bisa terbebani dengan biaya yang mahal. Belum lagi dengan adanya ketentuan sertifikasi itu harus diperbarui setiap tiga tahun.
Di negara-negara lain, sertifikasi halal ini bersifat voluntary atau sukarela. Apindo, kata dia, bukan menolak sertifikasinya, tapi sifat dari sertifikasi tersebut. "Kami setuju kalau lembaga sertifikasinya tidak hanya MUI, atau ada beberapa, saya setuju supaya bisa mempercepat proses (sertifikasi). Tapi tidak dengan mandatory," ujar dia.
Dia menilai, beleid itu tidak melihat kondisi di lapangan. Selain itu, dia menuding efek dari diterapkannya UU JPH berpotensi bakal menimbulkan konflik horizontal. Penerapan sertifikasi halal secara mandatory juga dikhawatirkan menimbulkan sertifikasi-sertifikasi palsu.