REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ayahnya, Abdullah Yassin, meninggal ketika dia berusia tiga tahun. Setelah itu, ia dikenal di lingkungan sebagai Ahmad Sa'ada yakni mengikuti nama ibunya Sa'ada al-Habeel. Nama tersebut untuk membedakan dia dari anak-anak istri lain ayahnya.
Yassin memiliki empat saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Dia dan seluruh keluarganya melarikan diri ke Gaza, menetap di al-Shati Camp setelah desanya dikepung oleh Angkatan Pertahanan Israel selama Perang Arab-Israel 1948.
Yassin datang ke Gaza sebagai pengungsi. Ketika berusia 12 tahun, ia menderita cedera tulang belakang yang parah saat bergulat dengan temannya Abdullah al-Khatib. (Baca: Syekh Ahmad Yassin, Pejuang Palestina yang Melegenda)
Lehernya harus menggunakan alat bantu selama 45 hari. Kerusakan saraf tulang belakang membuat Yassin menderita Paraplegia (hilangnya kemampuan menggerakkan anggota tubuh bagian bawah).
Akibatnya, ia harus menggunakan kursi roda di sisa hidupnya. Khawatir akan hubungan yang kurang baik antara keluarganya dan al-Khatib, Yassin memberitahu keluarganya bahwa ia menderita luka saat bermain lompatan saat pelajaran olahraga dengan teman-teman sekolahnya di pantai.
Kondisi kesehatan yang memburuk ini membuat Yassin harus berhenti dari pendidikannya di Universitas al-Azhar Kairo. Yassin terpaksa harus belajar di rumah.
(Baca Juga: Syekh Ahmad Yassin, Target Utama Serangan Israel)
Dia mulai membaca banyak buku mulai dari hal-hal filosofis dan agama, politik, sosiologi, dan ekonomi. Pengikutnya percaya bahwa pengetahuan duniawinya membuat Yassin menjadi salah satu pembicara terbaik di Jalur Gaza. Khutbahnya selalu dihadiri banyak jamaah.
Setelah bertahun-tahun tanpa pekerjaan, Yassin akhirnya diterima sebagai guru bahasa Arab di sebuah sekolah dasar di Rimal, Gaza. Kepala Sekolah Mohammad al-Shawa awalnya sempat khawatir apakah Yassin akan diterima muridnya karena kondisi fisiknya yang berbeda dari guru lainnya.
Kekhawatiran al-Shawa menghilang. Yassin mampu menangani muridnya dengan baik. Bahkan popularitasnya sebagai guru baru semakin meningkat. Metode mengajar yang dilakukan Yassin memicu reaksi beragam. Orang tua mendorong agar siswa mendapat kelas tambahan di masjid seminggu dua kali. Memiliki pekerjaan membuat keuangan Yassin menjadi stabil. Akhirnya, pada 1960 atau saat berusia 22 ia menikah. Ia dan istri dikaruniai sebelas anak.