Rabu 21 Dec 2016 08:53 WIB

IMF: Ekonomi Dunia Siap Hadapi Perubahan Kebijakan AS

Bendera Amerika-Liberty
Bendera Amerika-Liberty

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dana Moneter Internasional (IMF) pada Selasa (20/12) menyatakan bahwa ekonomi dunia siap menghadapi perubahan kebijakan pemrintah Amerika Serikat (AS). Selain itu, IMF juga memperingatkan kemungkinan meningkatnya proteksionisme menyusul fluktuasi nilai tukar akibat perubahan.

"Pemilihan (presiden AS) menandai pergeseran dalam rezim kebijakan AS dengan potensi dampak masa depan yang lebih besar pada harga dan aktivitas di luar negeri serta di Amerika Serikat," kata kepala ekonom IMF Maurice Obstfeld dalam sebuah blog IMF yang dimuat pada Selasa (20/12).

Setelah pemilu AS, suku bunga jangka panjang AS, dolar AS dan ukuran-ukuran ekspektasi inflasi jangka panjang berbasis pasar semua naik tajam, karena harapan bahwa pemerintahan baru akan memotong pajak secara substansial dan meningkatkan pengeluaran pemerintah.

Para pejabat Bank Sentral AS Federal Reserve juga mengantisipasi kenaikan suku bunga curam ke depan. Menurut proyeksi ekonomi mereka yang diperbarui pada Desember, para pejabat Fed memperkirakan tiga kenaikan suku bunga pada 2017, sementara dalam proyeksinya pada September, mereka memperkirakan hanya dua kenaikan suku bunga.

"Meskipun masih dini untuk mengetahui bagaimana kebijakan fiskal AS akan berubah, satu hal tampak jelas bahwa itu akan berubah lebih ekspansif melalui beberapa kombinasi pengeluaran lebih besar dan tarif pajak yang lebih rendah," kata Obstfeld menuturkan.

Mengingat tingkat pengangguran AS rendah AS dan sedikit pengenduran dalam perekonomian, menurut Obstfeld, kebijakan ekspansif mungkin mendorong tekanan inflasi naik, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan peningkatan lebih cepat dalam suku bunga AS.

Lebih lanjut ia mengatakan, peningkatan suku bunga yang lebih cepat dan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan AS untuk memulangkan keuntungan mereka yang disimpan di luar negeri bisa mendongkrak dolar, sementara apresiasi dolar lebih lanjut dapat menyebabkan pelebaran defisit transaksi berjalan AS.

Obstfeld juga memperingatkan tantangan internasional ke depan, mengatakan bahwa negara-negara berkembang dengan utang dalam mata uang dolar yang kuat bisa mengakibatkan berkurangnya likuiditas atau memburuknya neraca karena meningkatnya suku bunga dolar AS dan depresiasi mata uang domestik.

"Jika perubahan nilai tukar tajam dan ketidakseimbangan global meningkat menyusul perubahan rezim kebijakan AS, tekanan proteksionis akan menjadi risiko utama," kata Obstfeld.

Mengingat upaya negara-negara maju untuk menghidupkan kembali industri manufaktur mereka, "kemungkinan besar bahwa ekonomi-ekonomi negara berkembang adalah target utama untuk hambatan perdagangan ebih tinggi yang didirikan oleh negara-negara maju," katanya menambahkan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement