REPUBLIKA.CO.ID, oleh Erwin Noekman, direktur eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia
Industri Keuangan Non Bank Syariah terdiri dari beberapa jenis industri dan lembaga yang memiliki tingkat pertumbuhan yang bervariasi. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa asuransi syariah dan asuransi (konvensional) adalah sama saja dan tidak ada bedanya. Hal ini yang menyebabkan masih adanya perbedaan pandangan di kalangan masyarakat mengenai penempatan kata “syariah” di asuransi.
Tidak bisa dipungkiri, dalam praktik dan realita, secara kasat mata tidak terlihat perbedaan yang mencolok di antara kedua skema asuransi tersebut. Paling sering didapati hal yang membedakan antara Asuransi Syariah dengan yang konvensional adalah penggunaan nuansa hijau yang menunjukkan aura keislaman, sementara untuk yang konvensional biasanya menggunakan warna lainnya. Tidak juga bisa dipungkiri, masyarakat lebih “mengenal” Asuransi Syariah sebatas karena adanya penggunaan istilah dalam bahasa Arab.
Konsep awal yang membedakan antara Asuransi Syariah dan asuransi konvensional adalah dari sisi pengelolaan risiko. Di asuransi konvensional kita mengenal adanya risk transfer, yaitu pengalihan risiko dari tertanggung kepada penanggung. Pihak tertanggung yang memiliki risiko, dengan membayar premi dengan besaran tertentu, maka sebagai imbal baliknya, pihak penanggung akan memberikan jaminan ganti-rugi apabila tertanggung menderita kerugian.
Dalam hal ini, pihak tertanggung dan penanggung melakukan transaksi, berupa pertukaran jasa penjaminan ganti-rugi dan premi yang dibayarkan. Transaksi ini terputus, karena apapun hasil di kemudian hari, menjadi domain dari pihak Penanggung. Sekiranya apabila dari hasil pengelolaan risiko ini terdapat kelebihan (surplus), maka sepenuhnya menjadi domain Penanggung. Keadaan yang sama sebaliknya, apabila terjadi kekurangan (defisit) dari pengelolaan risiko ini, maka sepenuhnya pun menjadi domain Penanggung.
Penjelasan mengenai mekanisme pengalihan risiko pada transaksi asuransi (konvensional) dapat dijabarkan di bawah ini:
Pertama, masing-masing Tertanggung tidak berhubungan atau mempunyai perikatan antara satu-sama-lain dengan Tertanggung lainnya. Tertanggung yang mempunyai exposure risiko melakukan pengalihan kepada pihak lain, dalam hal ini Penanggung (Perusahaan Asuransi). Tertanggung hanya berurusan dengan Penanggung. Tertanggung kemudian membayar Premi kepada Penanggung.
Di tahap selanjutnya, Penanggung yang menerima Premi, memberikan janji untuk memberikan ganti-rugi klaim apabila Tertanggung mengalami kerugian. Seluruh Premi yang diterima, adalah mutlak milik Penanggung, termasuk bagaimana Penanggung mengelola dana tersebut. Keuntungan dan kerugian menjadi domain Penanggung.
Tahap ketiga adalah pengelolaan dana Premi yang disiapkan Penanggung untuk memberikan ganti-rugi manakala ada Tertanggung yang mengalami kerugian. Apabila pengelolaan Dana Premi lebih besar dari kewajiban Penanggung membayar ganti-rugi, maka seluruh keuntungan merupakan hak Penanggung. Sebaliknya, apabila Dana Premi lebih kecil dari kewajiban pembayaran ganti-rugi, maka defisit tersebut menjadi tanggung-jawab Penanggung.
Secara singkat, konsep di asuransi (konvensional) adalah transaksi antara Tertanggung dan Penanggung, berupa exchange antara Premi dan Ganti-rugi Klaim.
Kondisi di atas berbeda dengan konsep pengelolaan risiko di Asuransi Syariah. Bila di konvensionalterjadi aktivitas transaksional berubah peralihan risiko dari satu pihak ke pihak lain (risk transfer), maka di Asuransi Syariah yang terjadi adalah konsep saling bekerjasama untuk menanggung risiko secara bersama-sama (risk sharing). Dengan skema sharing risk ini, setiap Peserta (istilah bagi pemegang polis asuransi syariah) akan bersama-sama menanggung risiko dari Peserta lainnya.