REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Harga cabai yang kian melambung membuat pengelola katering maupun pemilik usaha warung makan rela terpangkas keuntungannya. Sebab cabai menjadi komponen yang tidak bisa ‘hilang’ dari kebanyakan menu masakan.
Pengusaha rumah makan dan katering Annisa, Kristiono (53 tahun) mengaku, hampir semua menu masakan yang disajikan di rumah makan miliknya, memang didominasi masakan yang cenderung pedas. Namun, ia mengakui saat harga cabai tembus Rp 100 ribu per kilogram, tetap tidak mengurangi komposisi cabai dalam setiap menu masakan atau bahkan menaikkan harga untuk tiap porsi hidangan. Karena ia tak ingin mendapatkan komplain dari para pelanggannya.
Akibatnya, keuntungan yang didapatkan oleh rumah makan yang dikelolanya pasti akan berkurang. “Artinya, keuntungan rumah makan saat ini tidak akan sebanyak saat harga cabai masih berkisar Rp 30 ribu–Rp 35 ribu per kilogram,” kata warga Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang ini.
Hal itu juga dialami oleh Widati (35 tahun) pemilik Warung Penyet Setenan, Ungaran, kabupaten Semarang. Untuk usaha warung penyet, cabai rawit merah merupakan bahan utama yang jamak dibutuhkan untuk membuat sambal. “Dengan keaikan harga cabai yang seperti ini, saya pun harus rela mendapatkan keuntungan lebih ‘tipis’ di bandingkan dengan sebelumnya,” kata dia.
Ia juga mengungkapkan, pada saat harga cabai normal saat belanja selalu membeli beberapa jenis cabai untuk kebutuhan usahanya tersebut. Sekarang ia menyiasati kenaikan harga ini dengan membeli cabai campur.
Jika harga cabai rawit merah saat ini mencapai Rp 100 ribu per kilogram, maka ia membeli satu kilogram untuk tiga jenis cabai. Sehingga dengan nominal yang sama bisa mendapatkan tiga jenis cabai untuk kebutuhan warung penyetnya. “Lumayan, dengan cara ini masih bisa mengurangi sedikit beban belanja kebutuhan warung penyet, saat harga cabai tengah melambung seperti sekarang ini,” ujarnya.