Rabu 22 Feb 2017 16:07 WIB

Sudah Adilkah Freeport untuk Indonesia?

PT. Freeport
Foto: Musiron/Republika
PT. Freeport

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kegaduhan terkait Freeport, semuanya berpangkal pada Pasal 170 UU Minerba. Undang-undang ini menyebutkan pemegang kontrak karya (KK) wajib melakukan pemurnian di dalam negeri. Namun, upaya Freeport untuk membawa kasusnya ke arbitrase justru menimbulkan pertanyaan, sudah adilkah Freeprot untuk Indonesia?

"Kalaulah Freeport mengancam untuk membawa Indonesia ke Arbitrase, ini arbitrase yang mana? ICSID kah atau commercial arbitration yang diatur dalam KK," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana, dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Rabu (22/2).

Kalau ke commercial arbitration, kata dia, maka pemerintah pun punya hak untuk mengajukan Freeport. "Freeport telah lakukan wanprestasi terkait masalah pemurnian dan divestasi," ujarnya.

Dikatakan Hikmahanto, dengan adanya UU Minerba ini, mereka nggak bisa lagi ekspor raw ataupun konsentrat. Kata dia, seharusnya aktivitas PT Freeport sudah jatuh tempo pada 2014. Namun, pada saat itu, Freeport dan pemegang KK meminta perpanjangan karena mereka tidak siap. Permerintah pun, kata dia, akhirnya memberi perpanjangan untuk tiga tahun ke depan dengan catatan harus membayar bea keluar.

"Nah pada Januari 2017 kan sudah jatuh tempo lagi. Eh...Freeport bulum juga mau bangun smelter meski duitnya sudah ada. Alasan Freeport belum membangun karena dia minta kepastian perpanjangan setelah 2021," kata Hikmahanto.

Kondisi ini, membuat pemerintah berada pada posisi yang tidak diuntungkan. Kata dia, bila dijalankan pasal 170, maka akan ada kerugian. Sedangkan bila tidak dijalankan pasal 170, maka pemerintah dianggap oleh rakyatnya melanggar UU Minerba yang notabene bisa saja di-impeach.

Untuk itulah, kata Hikmahanto, pemerintah memberikan solusi yaitu memberikan alternatif ke pemegang KK. Bila mereka tetap berpegang pada KK itu, dibolehkan asalkan tidak melanggar pasal 170 UU Minerba. "Namun, kalau mereka mau tetap ekspor, tentu boleh tapi harus bersedia mengubah diri menjadi IUPK," ujarnya.

Terkait IUPK ini, telah diatur dalam Pasal 102 dan 103. Meski ada keharusan hilirisasi, namun tidak ada ketentuan waktu 100 persen pemurniannya hingga batas waktu kapan. "Nah...kalau melihat itu kan sebenarnya pemerintah sudah berbaik hati untuk memberi solusi bagi pemegang KK. Pemerintah tidak diskriminatif. Ada yang tetap pegang KK, tapi mereka bangun smelter sepeti Vale. Tapi ada juga yang mengubah diri menjad IUPK seperti PT Amman (dulu Newmont). Pemerintah harus berkorban karena dikritik. Bahkan, PP 1 2017 dibawa ke MA untuk diuji materi," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement