REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama sebenarnya adalah Masjid Sahaba. Namun, masjid yang berlokasi di Kota Creteil, pinggiran Paris ini, lebih dikenal sebagai Masjid Mualaf. Disebut demikian karena banyaknya non-Muslim yang bersyahadat di masjid tersebut.
Setiap tahun, Masjid Sahaba menjadi saksi pengislaman sekitar 150 mualaf. Angka ini tergolong besar, mengingat Prancis merupakan negara sekuler. Islamofobia juga masih berjangkit di sana.
Berukuran cukup besar, masjid bermenara ini dihiasi mozaik rumit nan cantik. Sejak dibangun pada 2008, masjid tersebut menjadi rumah nyaman bagi para mualaf untuk menjalankan aktivitas keagamaannya. Setiap Jumat, masjid itu dipenuhi oleh jamaah. Banyak dari mereka merupakan mualaf.
Masjid ini menjadi semacam tempat perlindungan bagi para mualaf. Ketika seorang non-Muslim memeluk Islam, biasanya sejumlah masalah mengadang. Tak jarang, para mualaf menjadi terasing atau terkucil dalam hubungan sosial. Hubungan dengan keluarga pun memburuk. Di sinilah Masjid Sahaba mengambil peran. Seperti namanya, Sahaba, yang bermakna sahabat, maka masjid ini pun layaknya sahabat bagi para mualaf.
Di masjid tersebut para mualaf berkumpul, bersilaturahim, dan menjalankan aktivitas keislaman. “Banyaknya orang yang berpindah agama ke Islam telah menjadi fenomena sosial di sini,” ujar Charlie-Loup, pemuda Prancis yang memeluk Islam saat berusia 19 tahun, seperti dikutip New York Times.
Hal itu juga diakui oleh Bernard Godard, pejabat di Kementerian Dalam Negeri Prancis yang menangani masalah-masalah keagamaan. Ia mengatakan, meningkatnya jumlah mualaf di Prancis memang cukup mengesankan. Jumlah mualaf di Prancis, katanya, terus bertambah pascaperistiwa 11 September di Amerika Serikat.
Saat ini, mualaf di Prancis mencapai 100 ribu orang dari total Muslimin sekitar enam juta. Bahkan, menurut asosiasi Muslim setempat, jumlah mualaf mencapai 200 ribu orang.