Jumat 10 Mar 2017 06:07 WIB

Para Perempuan Perkasa di Gaza

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ani Nursalikah
Sudah hampir satu dekade sejak perempuan Gaza, Madleen Kullab (22 tahun) menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga dengan menjadi nelayan.
Foto: Mersiha Gadzo/Aljazirah
Sudah hampir satu dekade sejak perempuan Gaza, Madleen Kullab (22 tahun) menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga dengan menjadi nelayan.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kaum perempuan di Gaza sedang meningkat perannya sebagai pencari nafkah keluarga, melanggar norma-norma tradisional yang sebelumnya dipegang teguh masyarakat.

Konflik berkepanjangan membuat tingkat pengangguran di Gaza berada di posisi tertinggi di dunia dengan 42 persen. Proporsi perempuan dalam angkatan kerja hanya 15 persen, berbanding 71 persen laki-laki.

Kini makin banyak perempuan melanggar norma-norma sosial dan bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Dilansir dari Aljazirah, Jumat (10/3), para perempuan Gaza berkisah tentang pekerjaan mereka.

Sopir Bus

Salwa Srour memutuskan menjadi sopir bus. Anak-anak pertama memanggilnya Paman Salwa. "Anak-anak hanya memikirkan pria yang mengendarai mobil. Saya memecahkan tradisi. Saya wanita pertama di Jalur Gaza yang mengemudikan bus," katanya.

Srour mulai mengemudikan minibus Volkswagen-nya setiap pagi pukul 06.30 untuk menjemput anak-anak berangkat ke sekolah TK yang dia buka pada 2005 bersama adiknya, Sajdah. Semula, Srour menyewa sopir laki-laki namun tidak cukup sabar menghadapi anak-anak dan sering terlambat.

Sopir bus sekolah di Gaza, Salwa Srour. (Mersiha Gadzo/Aljazirah)

Srour telah melakoni pekerjaannya selama lima tahun hingga kini. Kelas dimulai ketika anak-anak masuk bus, dengan mempelajari kosakata baru bahasa Inggris. Meski semula orang memandang aneh, lama kelamaan dia mendapat dukungan dari lingkungannya.

Nelayan Perempuan Gaza

Sudah hampir satu dekade, Madleen Kullab juga mengambil alih peran ayahnya sebagai nelayan di usia 22 tahun. Itu terjadi setelah ayahnya didiagnosis menderita radang sumsum tulang belakang hingga cacat.

Kullab dan dua saudaranya berangkat pagi pukul 03.00 atau saat matahari terbenam untuk melemparkan jala. Pekerjaannya kian berat karena Israel telah membatasi nelayan Gaza hanya dapat menangkap ikan dalam jarak maksimal enam mil, kurang dari sepertiga daerah penangkapan menurut perjanjian Oslo.

Tidak ada cukup ikan, area terbatas, bahkan seringkali Kullab tak dapat membawa pulang apa pun. Jumlah nelayan terus berkurang drastis, yang semula 10 ribu orang di 2000, tahun lalu hanya tinggal 4.000 orang. Tak jarang, desing mesiu Israel mengakhiri nyawa nelayan Gaza di tengah laut.

"Setiap hari Anda pergi keluar. Anda tidak yakin Anda akan kembali. Ini situasi yang sulit. Ketika kami mendekati mil kelima, kami mulai ditembaki. Ada banyak risiko, tapi saya melakukannya karena ini harus," ujar Kullab.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement