REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) mengatakan bahwa referendum Turki yang berlangsung pada Ahad (16/4) lalu memiliki unsur kesalahan. Kelompok pemantau yang mengawasi proses pemungutan suara di negara itu mengatakan selama proses kampanye, ada ketidakseimbangan yang terjadi antara dua sisi yang berlawanan.
Pertama adalah dengan keterlibatan presiden serta pejabat senior Turki secara aktif untuk meminta dukungan terhadap referendum tersebut. Bahkan, mereka tidak segan mengatakan bahwa warga yang menolak referendum untuk mengubah konstitusi negara itu sebagai simpatisan teroris.
Belum lagi, terdapat perubahan aturan yang dilakukan menjelang akhir penghitungan suara. Surat suara yang tidak memiliki stempel resmi tetap dapat dihitung dan dinyatakan sah.
Dari jumlah penghitungan suara referendum, setidaknya 51,4 persen pemilih menyatakan setuju dengan rencana perubahan konstitusi Turki. Sementara terdapat 48,63 persen suara yang menolak hal itu.
Meski demikian, kepala badan pemilu Turki, Sadi Guven mengatakan suara yang tidak memiliki stempel dikeluarkan secara resmi oleh Dewan Pemilihan Tinggi. Karenanya, itu tetap dianggap valid dan prosedur yang sama dalam referendum kali ini sama halnya dengan pemilihan umum (pemilu) yang pernah diselenggarakan tahun lalu.
Dengan disetujuinya kontsitusi baru, Turki tidak akan lagi mengadopsi sistem parlementer, namun menjadi presidensial dalam pemerintahan negara itu. Sistem baru ini membuat presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri secara langsung.
Selain itu, jabatan perdana menteri akan dihapus untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki. Namun, nantinya terdapat seorang wakil presiden.
Sistem pemerintahan baru Turki disebut oleh sejumlah kritikus membuat Presiden Recep Tayyip Erdogan memiliki kekuatan lebih besar atas negara yang terletak di antara Asia dan Eropa itu. Terlebih, dalam ketentuan baru ini, presiden dapat secara langsung campur tangan dalam urusan peradilan.
Partai AK (AKP) juga mendapat jatah kursi pemerintahan lebih banyak. Kemudian, jumlah anggota parlemen dalam konstitusi baru Turki akan diperbanyak, dari yang semula hanya 550 menjadi 600.
Batas usia minumum bagi mereka yang ingin duduk di kursi parlemen juga diubah. Dalam ketentuan konstitusi baru Turki, tak perlu menunggu hingga usia 25 tahun, namun orang yang berusia 18 tahun diperbolehkan menjadi anggota.
Hasil resmi referendum diumumkan dalam 10 hari ke depan. Sesaat setelah penghitungan suara, ribuan pendukung Erdogan terlihat antusias dan bergembira. Mereka seluruhnya memenuhi jalan-jalan di Istanbul dan Ibu Kota Ankara untuk merayakan apa yang disebut oleh orang nomor satu negara tersebut sebagai kemenangan.
Erdogan telah berkuasa di Turki pada 2002 lalu, tepatnya setahun setelah pembentukan AKP. Selama lebih dari satu dekade, pria berusia 62 itu menjabat sebagai perdana menteri, hingga pada 2014 lalu terpilih menjadi presiden.
Dengan konstitusi baru Turki, pemilihan presiden dan parlemen berikutnya diselenggarakan pada 3 November 2019 mendatang. Presiden terpilih akan memiliki masa jabatan lima tahun dan maksimal dua periode, dilansir dari BBC.