REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menyayangkan keputusan pemerintah yang mencabut subsidi untuk kereta ekonomi jarak jauh dan sedang mulai keberangkatan 7 Juli mendatang. Ia menilai, PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak memiliki waktu sosialisasi yang cukup sampai tarif baru diberlakukan.
"Kalau mendadak seperti ini kasihan ya. Banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang menggunakan kereta ekonomi untuk pulang ke rumahnya sebulan sekali," ucapnya, saat dihubungi Republika, Selasa (27/6).
Daripada mencabut subsidi untuk kereta ekonomi jarak jauh dan sedang, Djoko menyarankan agar pemerintah mengalihkan subsidi KRL Jabodetabek. Ia menjelaskan, saat ini tarif KRL Jabodetabek mendapatkan alokasi subsidi yang paling besar dibandingkan dengan kereta ekonomi jarak jauh atau menengah.
Untuk tahun 2017, pemerintah menggelontorkan anggaran Rp 1,3 triliun untuk mensubsidi pengguna KRL Jabodetabek. Djoko menyarankan agar subsidi yang nilainya cukup besar itu dialihkan untuk kereta ekonomi jarak jauh dan menengah. Sebagai gantinya, Pemerintah Provinsi DKI dapat diminta memberikan subsidi untuk KRL Jabodetabek.
"Supaya tidak terlalu besar, KRL yang beroperasi pada Sabtu dan Minggu tidak perlu disubsidi karena penumpangnya kebanyakan pakai kereta untuk plesiran," kata peneliti Laboratorium Transportasi dari Unika Soegijapranata tersebut.
Seperti diketahui, mulai keberangkatan tanggal 7 Juli 2017, tarif beberapa kereta ekonomi jarak jauh dan sedang bersubsidi mengalami penyesuaian. Total terdapat 20 rute perjalanan kereta yang mengalami penyesuaian tarif. Dua kereta diantaranya mengalami perpanjangan rute yakni KA Brantas dan Kahuripan dengan rute sebelumnya Kediri-Pasar Senen dan Kediri-Kiara Condong menjadi Blitar-Pasar Senen dan Blitar-Kiara Condong.
Adapun rute yang mengalami penyesuaian tarif salah satunya adalah KA Pasundan dengan rute Surabaya Gubeng-Kiara Condong, yang semula Rp 94.000 menjadi Rp 110.000.