REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Transportasi Danang Parikesit menilai basis pengenaan pajak untuk transportasi daring harus jelas. Akan tetapi, pajak transportasi daring dinilainya wajar dikenakan pada pekerja independen yang memperoleh pendapatan atas usanya.
''Kalau yang mau dikenakan pajak, harus jelas basis pengenaannya,'' kata Danang, saat dihubungi, Rabu (19/7).
Sebelumnya, pemerintah berencana memungut pajak dari layanan transportasi daring. Perusahaan transportasi akan dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).
Ia menjelaskan, perusahaan layanan daring yang berbadan hukum Indonesia akan terkena pajak perusahaan dan PPN. Sementara, bagi pengemudi atau kontraktor independen, akan terkena pajak atas usahanya dalam bentuk pajak penghasilan (PPh)
Menurutnya, jika perjanjian dengan penyedia layanan daring dalam bentuk badan usaha koperasi, maka koperasi harus membayar pajak usaha/keuntungan. ''Kesemuanya itu sudah diatur dalam UU Perpajakan. Jadi tidak ada jenis pajak baru yang harus dikenakan,'' kata Danang.
Ia menambahkan, pengemudi transportasi daring bisa disebut kontraktor independen atau perusahaan perorangan yang mengikat kontrak. Sehingga, mereka memperoleh pendapatan usaha atas kontrak tersebut. Dengan demikian, pengemudi memiliki kewajiban membayar pajak atas usaha tersebut.
''Yang harus dicek, apakah pihak perusahaan layanan online yang membayarkan pajak (sebagai wajib potong) atau para kontraktor tersebut yang membayarkan sendiri,'' ucap dia.
Di Amerika Serikat, kata Danang, pembayaran penyedia layanan transportasi daring langsung mendapat potongan pajak. Kondisi ini bisa terjadi karena sudah adanya nomor wajib pajak kontraktor independen.