REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) berkomitmen terus mendukung pengembangan mobil listrik di Indonesia. Namun demikian, struktur industri dalam negeri masih belum bisa mendukung pengembangan tersebut.
"Jadi tahun ini akan dikeluarkan semacam perpres (peraturan presiden) terkait percepatan mobil listrik. Kami sendiri sudah melalukan penelitian sejak beberapa tahun lalu," ujar Kepala Subdirektorat Pengembangan Teknologi Industri Energi dan Transportasi Kemenristekdikti, Hendro Wicaksono kepada Republika pada Senin (2/10).
Hendro menjelaskan, bahwa mobil listrik memiliki 4 komponen dasar. Yakni motor listrik, baterai, controller dan bodi. Semua komponen tersebut sudah bisa dirangkai oleh peneliti Indonesia. Namun sayangnya, semua komponen masih harus diimpor, belum dapat diproduksi di dalam negeri.
Sejauh ini, ada 5 universitas yang telah melakukan penelitian untuk mobil listrik. Yaitu UNS, ITB, ITS, UI dan UGM. Dari komponen menjadi prototype mobil listrik.
"Jadi baterainya dari Jerman, motor listriknya dari Jepang, misalnya. Kita bisa rangkai. Tapi kalau masing masing mau produk dalam negeri belum ada," kata Hendro.
Jika ingin meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), tambah Hendro, seharusnya komponen tersebut dibuat di dalam negeri. Namun dari beberapa diskusi grup yang dilakukan oleh Kemenristekdikti, pihak industri mempertanyakan terkait masalah pasar.
"Pasarnya tidak ada, kan industri butuh biaya produksi yang enggak sedikit. Butuh investasi. Itu menjadi pertanyaan industri yang klasik," kata Hendro.
Jadi, menurut Hendro, permasalahan ini harus terus disiasati dengan strategi industri dan perdagangan yang tepat. Seandainya industri dalam negeri tidak dikembangkan, maka Indonesia harus impor terus.
Infrastruktur mobil listrik, sampai saat ini juga belum terbangun dengan optimal. Kemenristekdikti terus melakukan riset dan bekerjasama dengan industri terkait. "Terus terang di Indonesa belum ada baterai mobil listrik. Itu berbeda dengan AKI," ungkap Hendro. Meski demikian, pemerintah terus memberikan insentif kepada peneliti, jumlahnya mulai dari Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar.
Harga mobil listrik dalam negeri juga masih belum kompetitif dibandingkan dengan prooduk yang didatangkan dari luar negeri. Kemenristekdikti terus mendorong agar penelitian dan pengembangan mobil listrik ini dapat turut mendongkrak perekonomian.
Beberapa pihak, mengatakan bahwa Indonesia sebaiknya mengembangkan mobil hibrida terlebih dahulu, sebelum melompat ke mobil listrik sepenuhnya. Namun Hendro menampik, bahwa sesungguhnya mobil hibrida justru lebih sulit untuk dibuat. "Seperti Prius dan Honda. Itu lebih rumit. Karena teknologi perubahan sistem dari BBM ke listrik itu sulit. Kalau hanya sekedar listrik saja justru lebih mudah," jelasnya.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement