REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong peningkatan Perlindungan Varietas Tanaman atau PVT. Sebab, jumlah PVT di Indonesia terutama LIPI, masih jauh tertinggal dengan jumlah paten.
Jumlah PVT di LIPI sampai saat ini baru 10. Salah satunya ada di Kebun Raya Bogor yang berjumlah lima PV. ''Produktivitas PVT telah menjadi agenda LIPI, pemanfaatan PVT LIPI saat ini lebih berorientasi konservasi khususnya tanaman hias, sehingga perlu kerjasama dan sinergi khususnya dalam hal peningkatan pemanfaatan,'' kata Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Enny Sudarmonowati, dalam workshop yang digelar LIPI, di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa (8/8) malam.
Menurut Enny, dengan PVT, melalui protokol Nagoya yang mengatur pembagian keuntungan untuk negara asal, petani, masyarakat dan peneliti yang sudah memiliki jenis baru, bisa mendapatkan keuntungan jika ada pihak lain mau memanfaatkan secara komersial
Dengan PVT ini, kata dia, tanaman jenis baru hasil persilangan bisa dilindungi dari pemanfaatan secara ilegal oleh pihak swasta maupun asing diluar kepentingan penelitian. ''Jadi bukan hanya orang asing, orang Indonesia pun harus izin kalau mau memanfaatkan, kalau lisensi bisa berbayar atau tidak, tapi paling tidak itu ada izin,'' jelas Enny.
Menurut dia, pemanfaatan PVT bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena jangan sampai sumber daya hayati Indonesia diambil untuk kemakmuran negara lain.
Hanya saja, lanjut Enny, kendalanya adalah saat ini kebanyakan peneliti di Indonesia hanya berorientasi pada penelitian. Minat untuk menghasilkan varietas baru masih rendah.
Hal tersebut juga disebabkan karena sebelumnya, peneliti tidak mendapatkan porsi dari keuntungan hasil PVT.
Keuntungan PVT dari lisensi masuk ke kantong lembaga yang menaungi peneliti tersebut. Namun, Enny mengatakan saat ini sudah ada aturan dari Kementerian Keuangan mengenai hak kekayaan intelektual, bahwa peneliti juga berhak mendapatkan bagian atas hasil kerja keras mereka.
''Dulu tanaman tidak bisa dipatenkan, hanya proses budidayanya. Karena itu peneliti tertarik agar menghasilkan PVT lebih banyak,'' ucapnya.
Enny menambahkan, proses pengajuan PVT pun sudah disederhanakan. Jika sebelumnya pemohon harus mengisi sebanyak 25 lembar, kini hanya perlu mengisi 10 lembar.
Biaya pendaftaran juga dinilai tidak mahal dibandingkan dengan paten. Hanya saja, mungkin bagi masyarakat ataupun petani terbilang berat dengan biaya pendaftaran sebesar Rp 1 juta.
Pemerintah daerah diminta turut memberikan sumbangsih bagi petani atau masyarakat yang ingin mendaftarkan PVT. ''Tidak mahal dibandingkan paten, tapi kalau sudah mendaftarkan, disetujui Kementan, kalau ada yang mau pakai, lumayan lisensinya, tergantung kesepakatan dengan swasta," kata dia.