REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kita rindu sosok Anas bin an-Nadhr, ketika sumpahnya atas nama Allah ia tepati. Meski dengan rasa sakit yang mendera sekujur tubuh. Lantas kita bertanya, apa kabar sumpah para petinggi negeri ini? Bukankah mereka sudah disumpah lewat lisan mereka atas nama Allah? Lantas kenapa satu per satu janji-janji itu seperti hilang dengan segala pemakluman.
Janji kini menjadi barang yang teramat mudah diobral. Nilainya sudah sangat rendah seperti guyonan sia-sia di televisi. Jika orang berjanji, yang dijanjikan pun sudah maklum dengan segala pengingkaran. Alih-alih mengingatkan, kita justru memberi label tidak mengapa. Toh kita melakukannya juga.
Janji kadang menjadi sesuatu yang teramat berat. Berat untuk diwujudkan dalam amal. Mengobral janji dan menunaikan janji bukan lagi paket yang erat saling melengkapi. Mereka kini bercerai atas nama kepentingan. Mengobral janji dahulu, ingkar janji kemudian.
Janji kadang menjadi tak berbeda dengan barang-barang di museum. Janji adalah sesuatu yang langka. Jika ada yang sangat tepat janji, ia akan dianggap aneh. Padahal, janji adalah ucapan yang jika dilanggar, kafarat menanti. Terlebih jika ia melibatkan Allah dalam sumpah.
Namun, kita sangat menikmati dengan obral janji ini. Kita sudah merasa cukup dengan janji. Sehingga memberi kesempatan kepada para penjanji culas yang memang tidak pernah berniat menepatinya. Jangan-jangan kita adalah sang culas itu. Yang akan menimang-nimang kondisi keuangan dan kelapangan sebelum berjanji.
Adakah kita termasuk yang disebutkan Imam Ghazali, “Diri itu kadang murah hati dengan janji karena tidak ada kesulitan dan ongkos menunaikannya ringan. Namun jika kedudukan diraih, berkobar nafsu syahwatnya maka janjinya tidak ditepati.” Benarlah sang hujjatul Islam menilai diri kita. Kita memperhitungkan semua kondisi. Jika lapang dan sedang ingin meraih sesuatu, kita janjikan banyak hal. Jika sudah di tangan, entah apa kita masih ingat, apa yang terucap dari bibir kita dahulu.
Maka lihatlah sosok Mush'ab bin Umair yang tubuhnya terbaring kaku dalam Perang Uhud. Pemuda tampan yang menjadi idola Makkah ini memilih meninggalkan kesenangan dunia bersama kaum musyrik menuju cahaya Islam nan benderang. Lihatlah akhir hayatnya. Pemuda yang kaya, wangi nan bersih itu bahkan tidak memiliki kain kafan untuk menutupi jasadnya. Ia syahid saat membawa panji pasukan dalam Perang Uhud.
Rasulullah bersedih, kemudian membacakan ayat, “Ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada yang menunggu-nunggu.” (QS al-Ahzab [33]: 23).
Disarikan dari Dialog Jumat Republika