Jumat 18 Aug 2017 17:45 WIB

Sejarah Turkifikasi Anatolia

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Patung Nasrudin Khoja di Anatolia, Turki.
Foto: Wikipedia.org
Patung Nasrudin Khoja di Anatolia, Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Jauh berabad-abad yang lampau, daratan Asia Kecil atau Anatolia dihuni oleh masyarakat Romawi dan Yunani kuno. Di antara mereka terdapat bangsa Hatti, Hurriyah, Iberia, Lydia, dan Galatia. Bahasa yang mereka pertuturkan pun dulunya masuk dalam rumpun bahasa Indo-Eropa.

Akan tetapi, pemandangan tersebut kini berubah drastis. Tanah Anatolia kini hampir seluruhnya dihuni oleh orang-orang yang menamai diri mereka sebagai bangsa Turki. Meski sisa-sisa peninggalan peradaban Romawi dan Yunani kuno masih dapat kita jumpai di Anatolia, nilai-nilai yang mengakar di tengah-tengah masyarakat di kawasan tersebut hari ini hampir sepenuhnya Turki. Mulai dari bahasa, kesenian, hingga adat istiadat mereka.

Perubahan kultur masyarakat Anatolia dari corak Indo-Eropa menjadi Turki seperti sekarang ini tidak terjadi begitu saja. Melainkan, melalui proses asimilasi yang memakan waktu sangat panjang. Para ahli antropologi menyebut proses asimilasi ini dengan istilah “Turkification” alias Turkifikasi.

Sejarah Turkifikasi Anatolia dimulai dari kedatangan bangsa Turki di Asia Kecil pada abad kesebelas silam. Ketika itu, Tughril Beg, sang pendiri Kesultanan Turki Seljuk, ditugaskan Khalifah al-Qaim dari Dinasti Abbasiyah untuk menghambat pengaruh Kekaisaran Bizantium di wilayah utara kekhalifahan Islam.

Melemahnya kekuatan Bizantium di Anatolia Timur membuka jalan bagi orang-orang Turki Seljuk untuk masuk ke wilayah tersebut. Pada 1071, putra Tughril Beg, Alp Arslan, akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Bizantium. Sejak itu, Kesultanan Seljuk resmi menancapkan kekuasaannya di Anatolia. Pengaruh bangsa Turki di wilayah itu pun semakin menguat.

Pada masa itu, jumlah orang-orang Turki yang mendiami Anatolia tidaklah begitu banyak jika dibandingkan penduduk Indo-Eropa. Akan tetapi, mereka secara bertahap mulai melakukan Turkifikasi terhadap kebudayaan dan bahasa penduduk setempat. Banyaknya orang Kristen yang beralih memeluk Islam juga ikut membantu proses Turkifikasi Anatolia.

“Orang-orang Kristen yang masuk Islam mulai mengadopsi bahasa Turki dalam kesehariannya. Sementara, kebudayaan Yunani yang sebelumnya telah mengakar di kalangan masyarakat Anatolia semakin melemah pengaruhnya dari waktu ke waktu,” ungkap William Langer dan Robert Blake dalam buku The Rise of the Ottoman Turks and Its Historical Background.

Pada era Kesultanan Ottoman, proses Turkifikasi menyentuh hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Anatolia. Adanya ikatan perkawinan antara orang Turki dan non-Turki melahirkan generasi masyarakat baru di wilayah tersebut. Dengan kata lain, pernikahan menjadi salah satu faktor yang ikut mendorong terjadinya asimilasi bangsa Turki di Asia Kecil.

Bahkan, mayoritas sultan Ottoman terlahir dari rahim perempuan berkebangsaan Eropa. Sebut saja Murad I (beribukan orang Yunani), Bayezid II (Albania), Osman II (Serbia), dan Mehmed IV (Ukraina). Dari 36 sultan yang memegang tampuk kekuasaan Ottoman, hanya lima orang yang beribukan orang Turki asli.

Pada 1330-an, nama-nama kota atau tempat di Anatolia telah berubah dari bahasa Yunani menjadi bahasa Turki. Beberapa di antaranya Ankara (yang dalam versi Yunani disebut Angora), Izmir (Smyrna), Iznik (Nicaea), Konya (Iconium), Antakya (Antioch), dan Istanbul (Konstantinopolis/Konstantinopel).

Selama abad ke-19, penduduk yang mendiami wilayah Kesultanan Ottoman terdiri dari beragam etnis. Antara lain Persia, Arab, Albania, Yunani, Bulgaria, Bosniak, Armenia, Kurdi, Zazas, Kirkasia, Suriah, Yahudi, dan banyak lagi. Bahasa Turki menjadi semacam bahasa pemersatu bagi masyarakat majemuk tersebut, terutama di kalangan istana.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement