REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas mengatakan Harga Eceran (Tertinggi) untuk beras harusnya menjadi harga acuan bagi pemerintah, bukan untuk konsumen. Apabila memakai prinsip harga acuan, kata Andreas, maka pemerintah baru melakukan intervensi dengan cara operasi pasar apabila harga rata-rata beras di pasaran sudah lebih tinggi dari harga acuan tersebut.
Sementara, HET beras yang akan segera berlaku mulai 1 September mendatang menggunakan prinsip harga maksimal penjualan ritel. Dengan demikian, pedagang tidak boleh menjual beras dengan harga yang lebih tinggi daripada HET.
"Sistem kita kan bukan sistem komunis yang harga-harga diatur pemerintah," ujar Andreas, saat dihubungi Republika, Jumat (25/8).
Ia khawatir kebijakan HET akan memukul petani kecil. Sebab, menurutnya, harga maksimal penjualan yang ditetapkan jauh lebih rendah dibanding harga rata-rata yang sudah berjalan saat ini.
Andreas menyebut, sejak dua tahun terakhir harga rata-rata beras medium di pasar Rp 10.500-10.900 per kilogram. Sementara, HET terendah yang ditetapkan pemerintah untuk beras medium hanya Rp 9.450 per kilogram.
"Ketika harga sudah terbentuk dan pemerintah berusaha menurunkan dengan pemaksaan peraturan, ini yang beresiko," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan bahwa penetapan HET beras sudah melalui proses diskusi panjang yang melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, mulai dari petani, perusahaan penggilingan, pedagang pasar hingga pengusaha ritel modern.
"Tentu keputusan ini tidak bisa memuaskan semua pihak. Tapi beras sebagai komoditi utama, yang harus kita jaga adalah kepentingan terbesar yaitu di konsumen," ucap Mendag.