REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian Dwi Andreas menyebut ada kesalahan tata kelola yang dibuat pemerintah dalam mengendalikan stok gula. Hal itulah yang menurutnya menjadi akar mula permasalahan hingga muncul polemik gula saat ini.
Andreas menuturkan, pada awal 2016, Indonesia mengalami defisit gula yang cukup besar, yakni sekitar 400 ribu ton. Defisit ini tidak cepat direspons oleh pemerintah hingga harga komoditas tersebut merangkak naik. Harga gula yang semula berada di kisaran harga Rp 11.000-12.000 per kilogram naik menjadi Rp 14.000-15.000 per kilogram.
"Pemerintah mencoba meredam tapi tidak bisa terselamatkan karena sudah terbentuk keseimbangan harga baru," tutur Andreas saat dihubungi Republika, Selasa (29/8).
Ia melanjutkan, keseimbangan harga baru tersebut kemudian bertahan selama lebih dari satu tahun. Lalu, pada April 2017, pemerintah berusaha menurunkan harga gula menjadi Rp 12.500 per kilogram. Untuk menekan harga di pasaran, pemerintah bekerja sama dengan industri gula rafinasi.
Mereka diizinkan melakukan impor untuk kebutuhan gula konsumsi. Namun, dengan syarat industri harus menjual gula konsumsi dengan harga maksimal Rp 12.500 per kilogram. Pada saat yang sama, pemerintah juga mewajibkan semua pedagang untuk menjual gula sesuai dengan harga yang telah ditetapkan Kementerian Perdagangan.
"Di sinilah celakanya. Karena keseimbangan harga baru sudah menggerek biaya produksi di level usaha tani," kata Andreas.
Bagi industri, sambung dia, menjual gula di harga Rp 12.500 per kilogram bukan masalah. Sebab, mereka menggunakan bahan baku raw sugar yang harganya rendah. Sementara, bagi petani tebu, adanya Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 12.500 untuk gula telah menyiksa mereka. Sebab, kata Andreas, biaya produksi petani sudah di atas Rp 10.000 per kilogram.