Rabu 30 Aug 2017 04:04 WIB

Kantor Suu Kyi Sebut Relawan Internasional Dukung Teroris

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Aung San Suu Kyi
Foto: AP
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Aktivis pro demokrasi Myanmar yang juga menjabat sebagai penasihat negara Aung San Suu Kyi kembali memunculkan kontroversi atas pernyataannya terkait krisis etnis Rohingya.

Dalam sebuah pernyataan resmi, ia menuding bahwa relawan internasional yang berada di negaranya telah membantu teroris.

Melalui Kantor Penasihat Negara, pekerja urusan kemanusiaan dianggap telah membantu teroris ekstremis yang membut kekacauan di Rakhine. Bahkan, pemerintah Myanmar memperlihatkan sejumlah foto kamp dari Program Pangan Dunia PBB di wilayah negara bagian Myanmar tersebut dan mengatakan di sana para pelaku terorisme berlindung.

Pernyataan ini membuat lebih dari 100 pekerja bantuan PBB harus meninggalkan Rakhine pada akhir pekan lalu. Langkah dari kantor Suu Kyi dikecam oleh banyak pihak aktivis kemanusiaan, salah satunya dari kelompok Fortify Rights.

"Pernyataan yang menyamakan bahwa relawan atau pekerja bantuan PBB sebagai teroris sangat tidak bertanggung jawab dan membahayakan," ujar direktur eksekutif Fortify Rights, Matthew Smith seperti dilansir BBC, Selasa (29/8).

Dalam beberapa hari terakhir, tepatnya pada 25 Agustus lalu kekerasan kembali terjadi di wilayah utara Rakhine. Sebanyak 20 pos keamanan polisi Myanmar di wilayah perbatasan negara itu dan Bangladesh dilaporkan telah mendapat serangan pada dini hari waktu setempat.

Menurut pasukan militer Myanmar, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka adalah warga Rohingya menyerang pos polisi di wilayah utara negara bagian tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.

Dalam bentrokan tersebut, sebanyak 71 orang dilaporkan tewas dan seluruhnya merupakan dari pihak penyerang. Sementara, 12 petugas keamanan Myanmar juga disebut kehilangan nyawa dalam kejadian ini.

Banyak warga sipil Rohingya yang kemudian khawatir dengan pertempuran yang terus meningkat. Laporan menyebutkan pasukan militer telah memeriksa desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di Rakhine pada sekitar pukul 15.30 waktu setempat. Tentara kemudian juga mengeluarkan tembakan yang menyebabkan mereka memutuskan untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.

Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu di antaranya tewas sejak terjadi konflik yang tepatnya berlangsung di Rakhine, rumah etnis Rohingya.

Warga Rohingya juga tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut.

Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Kemudian yang terbaru pada Oktober 2016, menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.

Suu Kyi selama ini telah mendapat sorotan internasional karena dianggap tidak melakukan tindakan berarti dalam konflik di Rakhine. Ia juga disebut membiarkan kekejaman terhadap Rohingya dilakukan oleh Pemerintah Myanmar.

Perempuan berusia 71 tahun itu membantah telah terjadi pembersihan etnis terhadap Rohingya. Dalam sebuah wawancara khusus dengan BBC, ia mengakui ada masalah yang harus diselesaikan di Rakhine, negara bagian yang menjadi tempat tinggal etnis minoritas tersebut.

Namun, peraih nobel perdamaian itu menolak anggapan bahwa Pemerintah Myanmar melakukan salah satu kejahatan kemanusiaan tersebut. Suu Kyi mengatakan telah terjadi permusuhan yang begitu kuat di Rakhine, namun itu tidak didasari oleh tindakan pihak berwenang.

Ia menuturkan bahwa pembunuhan sesama itu adalah antara Rohingya. Selama ini, terdapat anggapan bahwa etnis minoritas yang hampir seluruhnya Muslim itu didiskiriminasi oleh Pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Budhha.

Sementara itu, Smith menilai bahwa Suu Kyi kembali membuat propaganda yang semakin memicu sentimen anti-Rohingya. Padahal, di saat bersamaan seharusnya dengan kapasitas sebagai seorang penasihat negara ia harus dapat mempromosikan hak asasi manusia dan membuat perdamaian di Myanmar.

"Propaganda Suu Kyi hanya semakin memperkeruh konflik di saat ia seharusnya melakukan segala sesuatu untuk menciptakan situasi tenang dan damai, serta membela hak asasi dari mereka yang tertindas di negaranya sendiri," jelas Smith.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement